Jumat, 24 Februari 2012

Suku Anak dalam Pulang kampung dari Pagaruyung



Solsel, Padek—Sejak sepekan terakhir, sebanyak 15 orang suku anak dalam (orang rimba) berada di Solok Selatan. Mereka “turun gunung” karena dikabarkan hendak mencari tanah kelahiran nenek moyangnya.

Rombongan Suku Anak Dalam itu berasal dari Bukit Duabelas, Kabupaten Sarolangun Bangko, Jambi. Menurut cerita yang mereka dapat, mendiang munyang laki-laki (moyang-red) mereka, bernama Mangku Muhammad, berasal dari Pagaruyung Batusangkar, Tanahdatar.

“Munyang aku ndak mau dijajah (saat zaman penjajahan, red), lalu masuk ke dalam hutan dan nikah dengan suku dalam. Sudah lama kami dapat cerita itu. Kami ingin betul melihat tanah asal munyang kami, juga famili kami yang orang Minang,” tutur Ismail, 58, Kamis (23/2). Soal keyakinan, Ismail bersama saudara-saudaranya mengaku telah menganut Islam.

Kerinduan mereka mengunjungi Pagaruyung akhirnya terwujud. 35 hari yang lampau, Ismail bersama sanak saudaranya berangkat dari Bukit Duabelas. Rombongan terdiri dua istri Ismail (Siti Aminah dan Masidah), mertua perempuannya, saudaranya yang bernama Siti Khadijah, serta 10 orang anak-anak mereka.

Di antaranya ada yang berusia 1,5 tahun. Dari rimba Bukit Duabelas, mereka berjalan kaki melewati Kabupaten Dharmasraya, hingga ke Pagaruyung, Batusangkar.

Dua minggu mereka berada di tanah Pagaruyung. Bukan main senangnya hati mereka. Kerinduan bertemu dengan sanak famili terlepas sudah meski tak satu pun warga Tanahdatar yang mereka kenal.

Bagi mereka, siapa saja yang mereka jumpai di sana, dianggap saudara. “Saat di Batusangkar, kami menginap di kantor camat,” imbuh Siti Aminah.

Setelah merasa puas melepas di Batusangkar, mereka berencana melanjutkan perjalanan pulang ke Bangko, melewati Solok Selatan dan Kerinci. Peralatan yang mereka bawa cukup beragam. Mulai dari terpal hingga peralatan memasak. Semuanya dibungkus dalam karung plastik yang dipikul orang dewasa.

Sedangkan anak-anak mereka, hanya kebagian membawa ember kecil. Di sepanjang jalan, kepada siapa pun yang lewat, bocah-bocah itu akan menyodorkan ember tersebut.

Saat sampai di Pinangawan, Pauhduo, mereka terlihat sangat lelah. Apalagi anak-anak. Perjalanan ratusan kilo itu, cukup menguras tenaga bocah ingusan itu. Di pinggir jalan, di atas rumput mereka selonjorkan kaki.

Untunglah, beberapa hari di Solsel, mereka mendapat perhatian dari warga. Ada yang memberikan makanan, ada pula yang memberi uang. “Tadi malam, kami nginap di rumah sekolah,” ujar Aminah, wanita beranak empat yang tidak tahu berapa usianya.

Ismail mengaku kasihan terhadap anak-anak. Mereka masih kecil, tapi terpaksa harus diboyong. Sebab, kalau anak-anak ditinggalkan di rumah (tengah rimba), mau makan apa. Ismail lalu memutuskan membawa sebagian anaknya, membantu meminta sedekah dari warga.

“Kami ado diagiah urang dinas sosial rumah trans di Bukik Duobaleh. Tapi tak ado lahan yang bisa digarap. Di sinan, kebun sawit lah banyak, milik perusahaan. Susah kami cari makan,” ujarnya.

Sehari-hari, anak-anak mereka memang diizinkan untuk mengutil sawit oleh pemilik kebun. Namun, itu hanya sebatas anak-anak saja yang boleh. Dari hasil mengutil sawit, satu orang anak paling banter dapat lima kilo. Meski jauh dari jumlah kebutuhan, tapi cukup membantu untuk makan sehari-hari.

Suku anak dalam atau orang rimba, sering juga disebut dengan Suku Kubu. Namun, istilah Kubu terdengar kasar dan tidak disukai oleh suku anak dalam. Suku ini hanya terdapat di pedalaman hutan Provinsi Jambi dan Sumatera Selatan. (sih)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar