Senin, 13 Februari 2012

Menyusuri Pelosok Nagari Mencari Panutan


Di kampung-kampung, upacara adat merupakan hal penting dalam menjaga tradisi. Begitupula di Minangkabau, upacara-upacara adat telah melahirkan banyak maestro seni tradisi.
Hanya saja, jarang seniman kontemporer yang mau menyusuri pelosok nagari itu dan belajar pada seniman tradisi sebagai panutan dalam berkarya.

Seni tradisi di kampung-kampung atau di nagari-nagari dalam daerah Minangkabau hidup karena adanya upacara-upacara yang mendukung kehidupannya. Akan tetapi, kemajuan zaman yang mengarah kepada kehidupan kapitalisme telah menyebabkan upacara-upacara semakin dianggap tidak perlu dan mubazir. Namun di sisi lain, masyarakat dan pemerintah tetap saja menginginkan produk-produk budaya dalam bentuk kesenian tradisi itu tumbuh dan berkembang, sebab seni tradisi memiliki potensi sebagai sebuah identitas.

“Oleh karena itu, kalau mau memelihara seni tradisi, maka yang harus dilakukan adalah membuat upacara-upacara yang masih relevan dengan kehidupan masyarakat pendukungnya,” kata koreografer, Indra Utama yang sekarang sedang menempuh pendidikan doktoral bidang performance studies di Pusat Kebudayaan Universiti Malaya, di Malaysia. Kami bertemu dan membincangkan ini di situs jejaring sosial Facebook, Rabu (8/2) lalu.

Dosen Institut Seni Indonesia (ISI) Padangpanjang ini mencontohkan nagari yang masih menjaga dan memelihara upacara-upacara tersebut. Yaitu, Nagari Andaleh Baruh Bukik, Sungayang, Tanahdatar.
Di nagari itu, setiap hari raya dilakukan upacara anak nagari selama 7 hari. Bertempat di halaman masjid yang sekaligus berdekatan dengan gedung serbaguna atau gedung pemuda. Pada saat itu, anak nagari mempertunjukkan kesenian mereka dan ditonton oleh masyarakat nagari yang pulang dari rantau serta yang menetap di kampuang. Kemudian, terjadi interaksi antara anak muda-muda tersebut.

“Nampaknya, sekaligus untuk cari jodoh mah...hehehe..,” katanya sambil tertawa. Menurutnya, upacara-upacara yang tidak relevan lagi dengan keadaan zaman tentu dengan sendirinya akan hilang dan tidak diminati. Tetapi upacara tetap harus ada untuk mendukung keberadaan aktivitas seni tradisi.

Harus ada panutan
Dalam sebuah tulisannya, Indra Utama, pernah mengungkapkan, banyak koreografer muda di Sumbar yang berkarya tanpa panutan. Bahwa, karya-karya kreatif para koreografer muda ini cenderung memperlihatkan sesuatu yang berbeda atau ingin dianggap berbeda dari koreografer terdahulu. Perbedaan yang menjurus ke bentuk fisik melalui adaptasi teknik modern itu tidak diikuti dengan penguasaan teknik dan kaidah yang benar.

Akibatnya karya yang lahir pun tidak terarah. Mereka seperti sedang berada pada dua dunia, di mana masing-masingnya tidak total dilakoni. Satu sisi, dunia tradisi seperti hendak ditinggalkan karena dianggap tidak sesuai lagi dengan zamannya, tetapi di sisi lain, dunia moderen yang ingin digeluti, belum pula jelas bentuknya, sehingga mereka menjadi liminal.

“Koreografer muda Sumbar mesti banyak belajar ke sumber tari Minangkabau, yaitu pencak silat dan pamenan, yang orang akademis menyebutnya tari tradisi. Jadi, selain para koreografer muda itu belajar bagaimana mencipta koreografi baru berdasarkan ilmu-ilmu koreografi yang datang dari Barat, mereka pun semestinya memberi perhatian yang seimbang kepada asas tari Minangkabau, yaitu pancak dan pamenan. Kalaulah sudah berlaku usaha yang seimbang itu, maka saya percaya mereka akan menghasilkan karya-karya koreografi Minangkabau modern yang bisa menjadi satu alternatif keberadaan tari di dunia,” ungkapnya.

Ia memaparkan perjalanan kreatif peneguh tari Minangkabau (Redefining Minangkabau Dance), Hoerijah Adam (1934-1971) dan koreografer yang berpikir lokal bertindak global, Gusmiati Suid (1942-2001). Bagi maestro tari Minangkabau ini, pancak dan pamenan menjadi panutan utama. Dalam masyarakat tradisi Minangkabau, posisi gerakan pamenan merujuk kepada asas yang ada pada pancak. Itulah sebabnya antara gerakan tari tradisi Minangkabau dengan pancak terlihat seperti dua saudara kandung yang sedarah. Melakukan pamenan yang berasaskan pancak selalu mengikut kepada struktur yang diatur sesuai prinsip ke-Esa-an dan sifat transenden Allah seperti yang dipahami dalam pancak.

Kedua koreografer legendaris itu sangat menekankan, bahwa penguasaan bentuk-bentuk tari tradisi sebagai vokabuler karya baru, semestinya diikuti dengan penguasaan pancak. Bahkan bagi Gusmiati Suid, pancak tidak hanya harus dilakukan secara teknikal, tetapi juga dipahami dalam konteks filosofinya.

“Semuanya tergantung kepada mereka, para koreografer muda ini. Kalau mereka maunya hanya popularitas instan, maka apa yang mereka lakukan sudah memadai,” kata anak Hoerijah Adam ini.

Mengunjungi pelosok nagari
Pria kelahiran Bonjol (6 Januari 1960) ini sangat bersyukur hidup di tengah keluarga yang menggeluti kesenian sebagai basis pembentukan karakter keluarga. Ayahnya, Boestanoel Arifin Adam, dikenal sebagai seniman musik lulusan Conservatoire Royal de Musique Gent Belgium, di Belgia, serta pernah menjadi Direktur ASKI Padangpanjang.

Proses kreatifnya di bidang seni dimulai dari kegiatan di sekolah dasar di Padangpanjang. Diakuinya, ia tidak pernah lupa dengan guru SD yang pertama kali mengajarnya menari, yaitu, Ibu Nursehan. Seterusnya, sewaktu sekolah di INS Kayutanam, ia dibina almarhum Wisran Hadi bermain teater dan Herisman Is dalam bidang musik. Nasib baik mempertemukannya dengan Gusmiati Suid sewaktu kuliah di ASKI Padangpanjang (sekarang ISI Padangpanjang). Ia pun dibina oleh Bu Yet (begitu Gusmiati Suid biasa disapa) hingga menjadi penari tetap Sanggar Gumarang Sakti di Batusangkar.

Salah satu yang disenangi dalam belajar seni tradisi adalah mengunjungi kampung-kampung atau pelosok nagari di Sumbar. Selain untuk melihat keindahan alam Minangkabau, ia sengaja mengunjungi kampung-kampung itu untuk belajar silat serta kesenian tradisional. Di antara gurunya dari kampung-kampung yang dikunjungi tersebut, almarhum Ahmad Sutan Radjo Angek di Pariangan dan almarhum Yahya Rasyid Malin Marendah di Koto Anau. Kedua seniman tradisi itu menjadi panutan baginya. Sayangnya, kedua guru itu tidak bisa melihat muridnya ini menjadi angku doktor.

“Saya bukan hanya mengunjungi seniman-seniman tradisi itu, tetapi belajar bertahun-tahun dengan mereka, terutama dengan almarhum Atuak Ahmad Sutan Radjo Angek di Pariangan dan dengan Mak Yahya Rasyid Malin Marendah di Kotoanau. Dari seniman-seniman tradisi itu saya mendapatkan nilai yang sarat dengan kehidupan orang Minangkabau dalam tari. Setiap pergerakan tari tradisi yang saya pelajari dari seniman-seniman tradisi itu memiliki nilai yang berkaitan dengan adat. Inilah yang tidak dilakukan oleh koreografer-koreografer muda saat sekarang sehingga saya mengatakan mereka berkarya tanpa panutan,” ungkapnya.

Indra Utama menikah dengan Ernida Kadir, yang juga dosen ISI Padangpanjang, dan sedang menyelesaikan program doktoral pula di Universiti Malaya. Mereka dikarunia dua orang anak, Rangga Cipta Permana, yang sedang kuliah di Jurusan Media Fakulti Sastera dan Sains Sosial, Universiti Malaya. Serta, Genta Iverstika Gempita, mahasiswa jurusan Sastra Inggris Fakultas Ilmu Budaya Unand.

Sebagai penari dan koreografer, ia telah mengikuti banyak pertunjukan di dalam dan luar negeri. Setidaknya, tercatat 21 koreografi yang dibuatnya sendiri hingga 2011, disamping garapan kolaborasi dengan koreografer lainnya. Kemudian, ia juga bergiat sebagai penata musik dan penata seni pertunjukan, termasuk menjadi pembicara atau pemakalah dalam seminar-seminar seni dan budaya.

“Prinsip hidup saya, belajar, belajar, dan belajar. Sampai sekarang pun saya masih belajar,” ujarnya mengakhiri pembicaraan di seberang sana. (***)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar