Kamis, 23 Februari 2012

Masyarakat sejumlah Nagari Mempermasalahkan Tapal batas



BATUSANGKAR,HALUAN — Ma¬syarakat di sejumlah nagari di Tanah Datar masih mempersengketakan tapal batas nagari mereka dengan sejum¬lah nagari lain, maupun dengan nagari tetang¬ga di kabupaten lain.
Sengketa tapal batas antara warga Nagari Padang Ganting Kabupaten Tanah Datar dengan masyarakat Nagari Pasilihan Kabupaten Solok semakin merun¬cing. Kedua belah pihak masih bersikukuh pada konsep kepemi¬likan hak ulayat masing-masing.
Dalam pertemuan di Kantor Camat Padang Ganting, Sabtu (18/2), masing-masing ninik mamak telah mengutarakan dan mengekspos berbagai fakta yang diyakini sebagai bukti kepemi¬likan ulayat. Namun tidak dicapai kesepakatan dalam pertemuan itu.
Warga Nagari Padang Gan¬ting dan Pasilihan selama ini hidup berdampingan, di mana batas kepemilikan lahan secara umum adalah aliran Batang Ombilin.
Pada lokasi tapal batas tersebut, terutama pada kiri dan kanan aliran sungai yang berasal dari Danau Singkarak itu, sudah banyak yang digarap masing-masing pihak dengan membuka lahan perkebunan karet.
Dalam acara pertemuan dengan agenda penyampaian ekspos kepemilikan lahan oleh masing-masing ninik mamak tersebut dihadiri oleh sebanyak tiga orang ninik mamak, baik dari Padang Ganting ataupun dari Pasilihan.
Pertemuan itu juga dihadiri oleh utusan pemerintahan kabu¬paten masing-masing, yaitu Kabag Tata Pemerintahan dari Kabupaten Solok dan Tanah Datar, camat masing-masing wilayah, Ketua Kerapatan Adat Nagari ( KAN ) serta tokoh masyarakat dari kedua belah pihak yang bersengketa.
Camat Padang Ganting Abra¬mis Yuzi usai pertemuan itu kepada Haluan mengatakan, para delegasi Padang Ganting ataupun Pasilihan telah diberi kesempatan untuk mengutarakan argumen masing-masing.
“Kedua pihak dalam perte¬muan itu masih belum mene¬mukan kata sepakat, terutama untuk menentukan tapal batas antara ulayat Nagari Padang Ganting dan Pasilihan,” tutur Abramis.
Langkah selanjutnya, kata¬nya, akan dilakukan kunjungan ke areal yang disengketakan. Namun masih belum disepakati kapan kunjungan itu akan dila¬ku¬kan.
Tapal Batas Limapuluh Kota
Sementara itu, penetapan tapal batas antara Kabupaten Tanah Datar dan Kabupaten 50 Kota yang belum ada keputusan pasti, dikhawatirkan memicu konflik antar warga.
Pasalnya, ulayat masing-masing nagari saling memiliki potensi sumber daya alamnya yang bisa menghasilkan pen¬dapatan nagari.
Tokoh masyarakat Tanjung Bonai Amir Dian kepada Halaun, Selasa (21/2), mengatakan, kekhawatiran terjadinya konflik di perbatasan antara Nagari Tanjung Bonai Kecamatan Lintau Buo Utara, Tanah Datar dengan warga Nagari Halaban Kabu¬paten 50 Kota ini cukup besar, melihat potensi alam kedua wilayah ini.
“Potensi konflik antar warga di perbatasan ini sangat tinggi jika pemerintah dan ninik ma¬mak kedua nagari masih berta¬han dengan batas wilayahnya masing-masing,” ucap Amir Dian.
Menurutnya, saling meng¬klaim dan saling memiliki hak atas wilayah ini perlu kajian mendalam dari ninik mamak kedua nagari yang harus dirundingkan secara baik.
“Potensi sumber daya alam yang dimiliki kedua wilayah ini saling berdekatan, sehingga muncul praduga yang bisa memicu konflik warganya, dan pengelolaan di areal perbatasan antar wilayah ini harus segera dirampungkan,” kata Amir.
Walinagari Tanjung Bonai Utama Johar juga meminta kejelian pemerintah untuk sesegera mungkin menyelesaikan persoalan tapal batas atar wilayah ini.
“Hal ini harus menjadi prioritas utama bagi pemerintah dan ninik mamak, kita khawatir jika ulayat kedua nagari ini tidak segera diselesaikan, maka potensi alam ini juga bisa membuat konflik warga,” tegas Utama.
Belum adanya keputusan pemekaran wilayah ini, kata Utama, membuat warga di dua nagari ini sering bergesekan seiring dengan maraknya aksi penebangan liar di kawasan ini.
“Pihak sebelah mengklaim wilayah mereka, dan satu lagi juga mengklaim. Jika terjadi permasalahan hukum, siapa sebenarnya bertanggung jawab dan siapa yang rugi?” imbuh Utama Johar.
Ia menilai, pembinaan batas wilayah oleh pemerintah pada umumnya selalu dihadapkan pada masalah, antara lain kurangnya pemahaman ma¬syara¬kat terhadap maksud dan tujuan penentuan batas wilayah. Hal itu karena persepsi masy¬arakat yang keliru terhadap batas historis wilayah serta kurangnya sosialisasi tentang penetapan batas wilayah.
“Untuk meminimalisir perma¬salahan yang dihadapi ini, khusus¬nya dalam pelaksanaan penetapan batas wilayah harus segera selesai,” tambah Utama.(h/emz/doy).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar