Senin, 20 Februari 2012

Kita Mengabaikan Kekuatan Nagari



Pemerintahan nagari-nagari teridealisasikan dengan hadirnya ruang publik di tengah-tengah kehidupan nagari di Minangkabau, misalnya, galanggang (sasaran), yang merupakan ranah bagi anak nagari untuk mengekspresikan diri mereka, dapat disebut sebagai sistem nilai budaya. Di dalam galanggang itu akan teraktualisasikan ekspresi individu, masyarakat, dan komunal. Namun 12 tahun pemerintahan nagari dijalankan di Sumatera Barat, yang teridealisasikan itu masih jauh panggang dari api. Nagari yang ada kini tak jauh beda dengan saat ia menjadi desa dulu itu.
Dalam tataran kajian budaya, Minangkabau salah satu suku yang dikenal sebagai masyarakat yang unik karena memadukan nilai-nilai adat (tradisi) dan nilai-nilai keagamaan (Islam) dalam kehidupan sehari-harinya. Kehidupan tradisional orang Minang adalah kehidupan bersama yang dipimpin oleh mamak (laki-laki) secara demokratis. Baik dalam keluarga, suku atau nagari. Ada mamak adat (nini mamak, pimpinan kaum), mamak ibadat (ulama) dan cerdik pandai. Namun demikian, semenjak reformasi tahun 1998, lebih jauh lagi sejak ditetapkannya Peraturan Daerah No 9 Tahun 2000 dan direvisi lagi dengan Peraturan Daerah No 2 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Nagari di Sumatra Barat, eforia yang cenderung romantik akan kebesaran masa lalu, kian terasa dan mengemuka.
Berkembangnya semangat kembali ke nagari pascaruntuhnya rezim Orde Baru merupakan sebuah reaksi terhadap sifat hegemoni budaya yang melekat pada budaya global, berupa homogenisasi atau penyeragaman budaya secara kolosal, yang menyebabkan semakin sempitnya ruang gerak dan merosotnya pamor budaya-budaya lokal, sehingga menimbulkan kekhawatiran akan lenyapnya budaya karena dilindas arus globalisasi.
Kekhawatiran tersebut telah mendorong munculnya berbagai bentuk perjuangan budaya, khususnya perjuangan representasi budaya (cultural representation), yang di dalamnya respeks terhadap akar-akar budaya lokal digunakan sebagai senjata untuk menentang kekuatan impersonal, predator dan anonim globalisasi.Menurut Yasraf Amir Piliang, globalisasi tampaknya telah menghadapkan kebudayaan-kebudayaan lokal pada situasi dilematis: antara tradisi dan perubahan, antara identitas dan transformasi. Situasi dilematis ini muncul akibat sosok globalisasi itu sendiri yang menampakkan ‘wajah ganda’. Di satu sisi, globalisasi menciptakan integrasi, homogenisasi, standardisasi, internasionalisasi, di dalam ‘dunia tanpa batas’; sementara di sisi lain, globalisasi justeru telah menguatkan semangat desentralisasi, penganekaragaman, pluralitas, tribalisme, sukuisme dan sektarianisme.
Situasi dilematis tersebut juga dihadapi oleh gerakan-gerakan ‘budaya lokal’ di Indonesia, khususnya dalam upaya revitalisasi budaya. Di satu pihak, semangat reformasi, otonomi, dan demokratisasi telah memunculkan berbagai sentimen lokal (kesukuan, keagamaan, ras, dan kedaerahan), yang bahkan pada titik yang ekstrim telah menyulut berbagai bentuk konflik dan kekerasan.Di pihak lain, kehidupan sehari-hari masyarakat lokal justru sangat dipengaruhi oleh pola-pola kehidupan masyarakat global dan budaya global. Pengaruh tersebut telah merubah cara hidup, gaya hidup bahkan pandangan hidup mereka, yang pada titik tertentu justru mengancam eksistensi warisan adat, kebiasaan, simbol, identitas dan nilai-nilai budaya lokal.
Dalam situasi dilematis tersebut, upaya-upaya bagi revitalisasi budaya-budaya lokal dalam konteks perkembangan budaya global, tampaknya harus didukung oleh pemikiran, filosofi, visi dan strategi budaya yang cerdas dan kreatif, sehingga globalisasi dapat dijadikan sebagai peluang bagi pengkayaan budaya lokal di dalam kancah budaya global, tanpa ha-rus meninggalkan nilai-nilai kunci budaya lokal itu sendiri.Menarik jika kita mencermati lebih dekat tentang apa yang terjadi antara pemerintahan kabupaten/kota dengan pemerintahan provinsi, dan pemerintahan terdepan, yaitu nagari. Hubungan pemerintahan itu seperti tidak lagi “mesra”. Masing-masing berjalan dengan niat dan strategi masing-masing daerah.
Para pengamat berpendapat, semua itu bermula dari krisis moralitas sebagai dampak dari krisis kepercayaan, saling pengaruh timbal balik terhadap krisis kepemimpinan hampir di semua sektor, terutama kepemimpinan politik. Dampak dari krisis kepemimpinan memberi pengaruh terhadap otoritas pemimpin, tokoh dan figur yang selama ini dipercayai sebagai pembawa amanat.
Krisis otoritas menjalar pada otoritas hakim, pengadilan dan kepolisian sebagai penegak keadilan, bahkan otoritas ninik mamak dan ulama. Kepastian hukum dan ketidakadilan, amat dirasakan oleh rakyat atas kebijakan hukum yang berlaku. Tingginya tingkat pengaduan masyarakat nagari ke pihak polisi untuk menyelesaikan berbagai perkara, membuktikan bahwa pemimpin informal di tengah kaum (masyarakat) sudah tidak dipercaya lagi. ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar