Senin, 06 Februari 2012

Jatuh Bangun Mengarungi Jalanan Lembah Anai


Pragede jaguang
angek-angek
Yo pragede-pragede
Pragede

Kalimat di atas sudah tak asing lagi bagi penumpang bus yang melintasi kawasan Lembah Anai atau yang disebut juga Silaiang. Entah sejak kapan mulainya, pergedel jagung menjadi makanan khas Padangpanjang.
Makanan itu dijajakan oleh penjual yang sering disebut anak pragede di kawasan Silaiang. Mereka menamakan dirinya Anggota Pragede Pinukuik Silaiang Padang Panjang (Apper). Seperti apa perjuangan mereka mengarungi jalanan Silaiang untuk menyambung hidup dan menjaga eksistensi pragede jaguang dan pinukuik itu?

Seperti biasa, Lembah Anai selalu menghadirkan suasana sejuk bagi pengguna jalan yang melintas. Biasanya, jika kita datang dari arah Padang, maka begitu lepas dari gerbang Malibo Anai, suasana sejuk akan langsung terasa.
Tak lama setelah memasuki jalan menurun dan menikung kita akan menemui kumpulan monyet yang selalu menghibur dan mengharapkan makanan dari pengguna jalan. Begitu juga ketika Padang Ekspres melintasinya, Jumat (3/2) lalu.

Ketika melintasi tanda perbatasan Padangpariaman dengan Kabupaten Tanahdatar, di tepian jalan sebelah kiri kita akan menemukan sebuah pondok di tepi sungai dekat jembatan. Pondok itu bertuliskan “Pangkalan Pergedel”, di belakangnya terdapat sebuah mushalla kecil dan jalan setapak menuju sungai.

Jika kita pernah menaiki angkutan umum, seperti bus antar kota yang melintasi kawasan tersebut, maka pasti pernah berhenti di Pangkalan Pergedel itu. Tak lama setelah bus berhenti, maka anak pragede akan menghampiri bus dan menawarkan kepada penumpang untuk membeli pergedel, pinukuik, mau pun air mineral ukuran gelas.

Biasanya supir dan beberapa penumpang akan turun dari mobil. Ada yang sekedar menghabiskan rokok sebatang, buang air kecil ke tempat sederhana di tepi sungai yang telah disediakan Apper, bahkan sekedar bercengkerama atau bercanda dengan anak pragede yang sudah akrab dengan mereka.

Efendi, 36, Koordinator Lapangan Apper menjelaskan, keanggotaannya berjumlah 100 orang lebih. Namun, tidak semuanya aktif di lapangan, setiap harinya yang turun ke jalan hanya sekitar 50-60 orang. Kadang ada anggota Apper ada yang pergi merantau atau mencoba pekerjaan lain. Namun, ujung-ujungnya balik lagi menjajakan pergedel di Lembah Anai.

Di Pangkalan Pergedel Silaiang itu, jumlah pedagang tiap harinya sekitar 25 orang. Sisanya berjualan di Kota Padangpanjang, yaitu di simpang terminal untuk menunggu bus dari arah Bukittinggi, kemudian di Simpang Delapan untuk menunggu bus dari arah Batusangkar.

Dia mengisahkan, saat ini sistem berjualan anak pragede Silaiang sudah terbilang tertib dan tidak mengganggu kenyamanan pengguna jalan. Ini tak terlepas bergantinya era bus besar menjadi bus kecil. “Sekarang kami cukup menunggu bus berhenti dan menawarkan dagangan kami secara bergiliran. Masing-masing pedagang sudah tahu gilirannya,” beber pria asal Padangpanjang ini.

“Dulu kami harus turun naik dari satu bus ke bus lainnya. Kesannya kehidupan kami terlalu keras. Kadang harus meloncat ke atas bus yang sedang berjalan. Lalu turun dengan cara yang sama. Tidak jarang kami mengalami kecelakaan, terjatuh dari bus yang masih melaju. Akhirnya, barang dagangan berserakan, dan badan pun lecet-lecet,” ujar bapak dua anak ini mengenang kerasnya kehidupannya tempo dulu.

Kata Efendi, ketika masih naik turun di Silaiang. Dulu anak pragede naik di tikungan dekat air terjun. Kemudian mereka turun di pendakian Singgalang Kariang. Kedua tempat itu menjadi pilihan karena berada di tikungan, sehingga memudahkan mereka untuk naik dan turun.

Biasanya, yang membuat mereka jatuh adalah sandal yang putus, atau ada yang tersangkut di pintu mobil. “Kalau jatuh, sakit rasanya. Mungkin sakit badan tidak seberapa, namun kesal di hati ini, apalagi ketika hari hujan. Dagangan masih banyak, ternyata semuanya terserak di jalan. Tidak ada yang menolong, mobil bus pun hanya berlalu begitu saja,” katanya.

Hal serupa dialami Yonasrizal, 35, pedagang lainnya. Pria asal Pesisir Selatan ini menceritakan, ketika belum memiliki pondok seperti sekarang dan bus yang lewat didominasi bus besar, mereka harus duduk di tepi jalan menenteng kantong berisikan pragede dan air mineral.

Apabila hujan, mereka hanya bisa berteduh seadanya. Naik ke bus pun berebutan. Katanya, dia sudah berjualan pragede sekitar 20 tahun lamanya. “Saat itu saya menganggur dan diajak teman main ke Padangpanjang. Saya kemudian tahu ada kegiatan menjual pergedel ini dan mencobanya. Ternyata inilah jalan hidup saya,” kata pria berbadan tegap ini.

Lain lagi dengan Tajin, 31, dia berjualan pragede sejak tahun 1991. katanya, ketika itu sebenarnya dia berjualan telur asin bersama etek-nya. Karena sering main dan bertemu dengan anak pragede, akhirnya dia pun memilih menekuni profesi ini. “Kalau saya sudah berjualan sejak jaman bus Bintang Kejora masih jaya-jayanya. Tidak jarang juga kami bersama-sama membantu ketika ada kecelakaan. Mulai menolong korban hingga membantu polisi mengatasi kemacetan,” ujar pria asal Kayutanam ini, antusias.

Kini, semenjak mempunyai pondok, dan bus yang melintas ukurannya kecil-kecil. Anak pragede tidak perlu lagi naik turun bus dengan meloncat. Mereka juga tidak perlu hujan-hujanan dan berebut untuk berjualan. Adanya pondok ini juga membuat anak pragede lebih solid dan kompak. Mereka mempunyai iuran wajib yang duitnya dipakai untuk membantu rekan yang sakit atau istri dan anaknya sakit.

Pergedel dan pinukuik mereka dapatkan di Padangpanjang dengan sistem ambil barang dulu, lalu dibayar sesuai yang habis terjual. Selain itu, dari pembuat pergedel, mereka mendapatkan uang makan ala kadarnya. Jika pergedel tak habis, maka akan dikembalikan pada induk semang-nya.

Mereka mengaku, dengan berjualan pergedel mereka bisa memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari serta membiayai anak dan istri. Biasanya, mereka hanya terbentur jika memerlukan uang lebih dari kebutuhan. Untuk mengatasinya, mereka biasanya bisa meminjam dari induk semang.

Banyak juga pemuda yang berjualan pergedel sambil sekolah atau kuliah. Banyak juga di antaranya yang hidupnya sudah berubah dan menjadi orang kantoran atau prajurit TNI dan Polri. “Kadang kehadiran kawan-kawan yang sudah berhasil menjadi hiburan tersendiri bagi kami. Bahagia rasanya mereka datang dan bernostalgia di sini,” ujar salah seorang anak pragede lainnya. (***)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar