Jumat, 16 Maret 2012

Membayangkan Sumbar Betul-betul Jadi Negeri Industri Otak



Ideal sekali. Sistem pendidikan nasional Indonesia bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia lndonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri, serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.
Sistem pendidikan juga harus menumbuhkan jiwa patriotik dan mempertebal rasa cinta Tanah Air, meningkatkan semangat kebangsaan dan kesetiakawanan sosial, dan sikap menghargai jasa para pahlawan serta berkeinginan untuk maju. Iklim belajar mengajar yang dapat menumbuhkan rasa percaya diri sendiri dan budaya belajar di kalangan masyarakat terus dikembangkan agar tumbuh sikap dan perilaku yang kreatif, inovatif, dan berorientasi ke masa depan.
Kalimat di atas memang cukup ideal dan tujuannya pun sangat agung. Namun demikian, dalam praktiknya dalam tataran empirik, boleh jadi kalimat itu hanya sebatas kalimat dan tak ada bedanya dengan tujuan yang utopis. Terlalu berat malah tugas yang disandangnya. Dan output yang dihasilkan dari sistem pendidikan dengan tujuan yang maha agung itu, tampak jauh panggang dari api. Buktinya, tentu dapat dilihat dari persaingan dalam tataran global. Output dari sistem pendidikan itu keok dalam percaturan pemikiran dan tenaga kerja di tingkat global.
Masalah sistem pendidikan serta dampak yang dihasilkan dari sistem itu terhadap anak didik memang menjadi problem bak lingkaran setan. Satu persoalan yang ada berkaitan dengan ke “jaringan” birokrasi lainnya, dan seterusnya demikian. Satu konsep pendidikan yang ditawarkan, misalnya, hal ini tentu akan menyentuh dan menguntungkan sekian banyak birokrat. Sistem kebijakan yang sentralistik dan terpusat dinilai banyak kalangan sebagai penyebab “membusuk” dan rumitnya problem pendidikan Indonesia. Maka, pemberian kewenangan yang besar ke daerah serta upaya desentralisasi pendidikan diharapkan sebagai solusi untuk memecahkan sebagian problem pendidikan yang demikian belukarnya. Namun, ternyata, otonomi dan kewenangan itu ditafsirkan melenceng dari sukma otonomi, dan justru memunculkan “raja-raja” kecil di tingkat lokal.
Otonomi yang diserahkan ke daerah (lokal) dinilai gagal dilaksanakan, karena daerah dianggap tidak siap untuk hal itu. Pusat setengah hati memberikan kewenangan pada untuk kebijakan di tingkat lokal, dan terlihat ada upaya untuk “menggantung” kewenangan itu.
Secara nasional, kondisi mutu pendidikan dari laporan terakhir serta tingkat partisipasi publik Sumatera Barat terhadap dunia pendidikan tidak begitu mengembirakan. Perbandingan demikian bisa kita baca dari data-data jumlah sekolah negeri dan swasta. Jumlah sekolah negeri lebih banyak dibandingkan dengan sekolah swasta. Dan bahkan, ada beberapa sekolah swasta yang ingin dinegerikan.
Namun demikian, secara umum, permasalahan pendidikan secara makro hampir sama di semua daerah di Indonesia, dan telah menjadi problem klasik, yakni persoalan kualitas pendidikan, tingkat kesejahteraan pendidik, dan media informasi yang teringgal dari negara lain.
Partisipasi publik dalam pendidikan cukup tinggi, dan itu terlihat dari gambaran tokoh-tokoh pemikir yang berpengaruh yang muncul di tingkat nasional dan internasional. Pasca-PRRI, sejarah mencatat lagi, nyaris tidak ada lagi pemikir yang punya integritas yang memadai yang muncul dari daerah Sumatera Barat.
Virtual capital di Sumatera Barat, yaitu tradisi excellence. Maka Sumatera Barat, sesungguhnya bisa melakukan penguatan di bidang pendidikan, karena Sumatera Barat pernah punya masa lalu, punya tradisi, tapi jika tidak dibangkitkan ia akan hilang demikian saja.
Dalam sejarahnya ada beberapa modal yang kuat yang ada di Sumatra Barat untuk pendidikan. Tingkat penuntasan wajib belajar kita sudah lebih 80%, jadi kuantitasnya bagus. Rasio guru dan murid cukup baik yaitu, SD 1: 22, SLTP/SMA 1: 16. Data-data ini sudah cukup bagus, tetapi masih terlihat kekurangan guru karena menumpuk di kota-kota besar, di pelososk kampung kecil dan terpencil, minim sekali guru. Memang tidak sulit memperbaiki kondisi pendidikan di Sumatra Barat apa lagi diiringi dengan political will dari Pemerintah Provinsi Sumatra Barat. Paling tidak untuk Sumatra Barat, komponen-komponen pendidikan dan juga sumber daya manusianya cukup handal dan tidak jauh tertinggal dari daerah lain, baik itu guru, kepala sekolah, anak didik, serta pendidikan tinggi. Akan tetapi, yang jadi soal adalah komitmen itu sendiri.
Maka, soal sikap dan alas bakul dunia pendidikan perlu dibenahi dan diperjelas. Dunia pendidikan Sumatra Barat dalam berbagai hal bentuk pengembangannya selalu berorientasi proyek, dan semua kerja tanpa mempertimbangkan kualitasnya, selalu duit dan dan duit. Jika, korupsi erat kaitannya dengan mutu pendidikan, maka hal demikian bisa ditemukan di Sumatra Barat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar