Senin, 12 Maret 2012

JAMBU PALING MAHAL



Dia masih khusyuk dengan segala apa yang menarik minatnya. Dia tak akan lupa pada sapa yang berkala datang atau muncul dalam sergap mendadak. Sebenarnya, bukanlah petuah orang lama tentang sapa atau tegur yang menjadi ciri orang kita yang terkenal ramah.
Bahkan ini pula yang kadang kala membuat orang-orang kulit putih, mata besar, dan tubuh tegap—sampai-sampai tengkuk kita hampir patah memandangnya—mau memijakkan tapak sepatunya yang besar—lebih-lebih dari sepatu-sepatu peburu babi pendatang yang membawa lima bahkan lima belas ekor anjing dengan jeep beroda penuh gerigi—di kampung kita.

Kembali kepadanya
Orang-orang bergumul di kursi panjang dekat ia berada. Mendekat ke kiri-kanan dudukannya. Sekejap lapau yang lengang mendadak berkeruntang-pungkang. Mak Unuih, orang paruh baya pemilik lapau, ligat mengaduk-aduk teh sarok—sebenarnya ia malas menyaring kerumunan ampas. Maka ia katakanlah teh sarok memiliki banyak khasiat dan faedah untuk tubuh luar-dalam, serta-merta orang banyak memesan dan percaya pada ucapannya—ada juga yang memesan kopi gingseng. Hanya satu-dua saja. Minuman siapa yang sedang berduit, biasa dipesan hanya pada awal-awal bulan saja.

Silanya enak benar, begoyang-goyang pula lututnya. Ia sadar akan ada orang yang memperhatikannya, namun acuh saja, tak ada adat yang mengatur sila dan lutut bukan? Mak Unuih nanap memangadangnya. Bola matanya naik-turun seiring gemeretak kedua telapak kaki orang itu yang juga naik-turun. Sedang di tangannya, sendok mipih masih berputar-putar seputaran jarum jam, membentuk pusaran kecil di cangkir silinder yang tidak bertelinga.

Mula-mula ia hisap habis rokok di sela tunjuk dan jari tengahnya yang bercincin zambrud. Orang-orang membidik bola mata kepada batu berwarna hijau muda itu. Berbinar-binar. Kemudian ia serak, barangkali tertelan sepah teh sarok, dibuangnya lendir dikulumannya yang membuat gatal-gatal bagai panu di tenggorokan. Cuih. Dan, orang-orang memandang ludahnya yang lama kelamaan dikerubungi lalat.

Aku kenal benar, mereka juga kenal, bahkan bila sebuah malam orang-orang tak mendapati tubuhnya menyandar di bangku panjang lapau, mereka merasa kehilangan. Entah kehilangan apa? Ada saja yang terasa kurang, serempak mereka kata demikian. Meskipun kehadiranku telah sejadi-jadi hendak mencoba sepertinya—barangkali aku bisa pula bagai ban serep, pengganti—tapi nyatanya tidak, ia tak tergantikan.

Ah, Jang Ota. Kau terlampau pandai mengambil hati. Mengambil pandang perkawanan yang sungguh hangat, sangat dekat. Orang-orang akan tergelak terpigkal-pingkal bila ia membuka suara—sementara mulutnya baru menganga, semacam membentuk konsonan “A”— tak ada yang tidak menyingkap gigi, Gaek Parau sekalipun demikian. Bahkan lucu makin menjadi setelah telunjuk Jang Ota mengarah tepat ke arah gigi Gaek Parau yang tinggal dua itu, atas satu, bawah satu.

Suatu malam ia berseloroh tentang jambu yang paling mahal. Datuak Anai, si pedagang jambu yang paling masyur di kampung, dengan gagah menjawab, “jambu saya, sepuluh ribu sekilo, tak ada yang menawar, manis lagi” diseberang Mak Manar ikut pula,”jambu Tek Dar,” katanya keras memekakkan isi lapau, “kenapa?” entah siapa yang bersuara di belakang.
Itu suara perwakilan yang pastinya menjadi pertanyaan kami semua, “sebab Tek Dar orang paling kaya di kampung ini,” kilahnya. “Semua salah,” Jang Ota senyum-senyum, ia menyimpan jawaban. Kami terperanga menunggu mulutnya terbuka. Cepatlah bersuara, hati berbisik demikian, sepertinya hati ikut pula penasaran.

Lama, belum ia jawab. Malah kemudian ia seruput teh sarok di meja hadapannya. Ampas-ampas kecil menumpuk di kumisnya yang melintang panjang. Sepertinya sengaja ia tak potong bulu-bulu itu guna penyaring teh sarok.

“Kalian mau tahu jambu apa yang paling mahal?” tanyanya kembali. Kami mengangguk serempak, seperti terkena hipnotis saja. “Akan kuberitahu, asal ada yang bayar segelas teh sarokku,” tiba-tiba ia menoleh kepadaku. Kami bersitatap. Mengapa aku? Haruskah aku? Dia menancap pandangnya lama kepadaku.”Ayolah, kau kan baru pulang dari rantau, pastilah panen rezeki. Bagi-bagilah sedikit padaku,” Ah, Jang Ota, tahu benar ia. Meskipun aku baru tiba dari rantau, namun tidaklah aku panen rezeki seperti yang barusan ia ucap. Di rantau hanya dapat lepas makan saja yang kudapat. Sedikit sekali lebihnya. Kalaupun berlebih, pastilah itu kutabung untuk kemudian membeli barang lagi. Tapi kali ini biarlah, kukupak sakuku untuknya, untuk jambu yang paling mahal.

Semakin lama ia menghisap tembakau dalam gulungan enau yang tadi ia pilin. Tega benar ia mempermainkan kami. Kami tak sadar mulut kami terlampau lama menganga, hingga seekor lalat menclok di bibir Gaek Parau, tak terasa olehnya.

“Kalian akan kuberitahu asal kalian harus pandai menjaga rahasia ini,” katanya sebegitu seriusnya, “jambu yang paling mahal itu, adalah…,”
Belum sempat ia meneruskan ucapannya, tiba-tiba rokok enau yang dijepit antara kedua jenis tangannya itu mendadak jatuh ke meja lapau.
Parahnya, ujungnya yang berapi itu persis jatuh di dekat lampu togok, di sebuah sudut meja. Tiba-tiba saja berkobar api dari situ. Minyak lampu menjelma kobaran yang sangat dahsyat, cepat. Melahap meja kayu dan kursi yang juga kayu. Dudukan yang biasa ditempati Jang Ota berkobar nyala. Kami semua berhasil menyelamatkan diri. Sayang, Jang Ota masih bersila di kursi panjang lapau, tak sempat ia beralih barang sedetik pun. Ia terbakar bersama pertanyaan yang tak sempat terjawab.

Hingga kini, kami masih menyimpan tanda tanya besar tentang jambu yang paling mahal. Namun apalah daya, hendak kemana kami bertanya, si empunya pertanyaan telah menjelma abu. Adakah kau tahu jawabannya?
Padang, 070212







TENTANG PENULIS:
Dafriansyah Putra, kelahiran Batusangkar, 7 Juli 1992. Sedang menimba ilmu di jurusan teknik sipil Universitas Andalas. Walau bergelut dengan rumus mekanika dan teori konstruksi, ia adalah seorang penyuka seni serta pembelajar otodidak. Menulis puisi, cerpen dan artikel di media massa lokal dan buku antologi bersama: Beramal Lewat Cerita(2011), Setia Tanpa Jeda(2011),Bunga Rampai Selingkuh (2011), Lelaki Beraroma Ayah (2011), Di Sebuah Surau, Ada Mahar Untuk-Mu (2011), Puisi Adalah Hidupku (Melangitkan 100 Penyair, Membumikan 100 Karya) (2012). Bermain bansi ketika malam senyap, adalah cara ia mencari inspirasi. Penulis bisa dihubungi via HP. 087895467894.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar