Selasa, 06 Maret 2012

Dicimeeh Bawa Cangkul, Bertekad jadi Petani Berdasi



Demam produk anak bangsa made in Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) melanda Republik ini. Mulai produk otomotif hingga industri kreatif, tercipta dari tangan-tangan terampil dan inovatif para pelajar SMK di seantero negeri. Ketika SMK berbasis teknologi lagi naik daun, bagaimana pula dengan SMK berbasis pertanian?

MOBIL Esemka hasil rakitan siswa SMK di Solo, Jawa Tengah, melambungkan citra SMK di mata publik. Di tengah hiruk-pikuk produk teknologi pelajar SMK, SMK Pertanian Pembangunan (PP) Lubuk Minturun, Kecamatan Kototangah, Padang, berjuang melawan ancaman kepunahan generasi penerus petani di negeri agraris.

Seperti melawan arus, begitulah yang dihadapi SMK di bawah naungan Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Provinsi Sumbar ini, di tengah era digital saat ini. Lokasinya yang tersuruk di pinggiran kota Padang, menggambarkan kesepiannya sektor pertanian di zaman teknologi ini.

Sekolah pencetak petani muda ini, terus menabur bibit unggul demi menuai generasi petani modern di masa depan. Sejak ”tergusur” oleh pembangunan Masjid Raya Sumbar, di Padangbaru, SMK PP menempati lahan Balai Benih Induk (BBI) di Lubuk Minturun.

”Kami sebenarnya menumpang di lahan BBI. Awal pindah ke sini (Lubuk Minturun, red) 1 Januari 2010, kami belum punya ruangan belajar dan kantor. Belajar di lokal darurat. Itu pun hanya ada dua ruangan bekas garasi yang rusak akibat gempa. Baru Januari 2011 lalu belajar di gedung baru,” kata Kepala UPTD SMK PP Lubuk Minturun, Ir Yessi Faiza MS kepada Padang Ekspres di ruang kerjanya pekan lalu.

Kini, sekolah yang terdiri dari jurusan agribisnis perkebunan dan agribisnis tanaman pangan hortikultura, itu telah memiliki 7 ruangan belajar. Selain ”laboratorium alam”, juga telah dilengkapi labor fisika, kimia, biologi, kultur jaringan, pascapanen, bahasa dan komputer. Satu ruangan lagi untuk perpustakaan.

Berada di kawasan pertanian ibu kota provinsi itu, seolah mengembalikan SMK ini ke habitatnya. Selain dikenal sentra pembibitan dan budidaya tanaman hias, Lubuk Minturun juga memiliki lahan persawahan rakyat yang masih ”perawan” dari mangsa para developer perumahan. Di samping lahan milik sendiri, lahan pertanian warga sekitar sekaligus menjadi tempat praktikum. Itulah SMK pertanian, alam takambang menjadi laboratorium.

Berkubang lumpur adalah ”sarapan pagi” para siswa SMK pertanian ini. Ketika anak-anak sekolah lain tampil rapi jali dan wangi ke sekolah di pagi hari, tidak demikian bagi anak-anak SMK ini. Mereka justru ke sawah atau ke ladang layaknya seorang petani. Siswa siswi memanggul cangkul, memakai sepatu bot, baju praktik lapangan, dan peralatan pertanian lainnya ke sawah atau ke kebun. Praktik lapangan itu dimulai pukul 07.00 hingga 10.00 WIB, setiap Senin hingga Kamis.
Nah, jangan heran bila pagi-pagi ke sekolah ini, nyaris tidak ada kehidupan. Lengang.
”Senang Bang. Pagi-pagi mencangkul di sawah, ndak belajar di lokal,” kata Dafrinal, siswa kelas 12 jurusan agribisnis tanaman pangan dan hortikultura itu, kepada Padang Ekspres. Dafrinal adalah anak petani asal Sumanik, Kabupaten Solok.

Memang, di sekolah yang dulu bernama Sekolah Pertanian Pembangunan (SPP) itu, lebih banyak jam praktik daripada belajar di kelas. Persentasenya 60 praktik, 40 persen teori. Karena itu pula, para siswa yang semuanya anak-anak petani di seluruh pelosok nagari di Sumbar itu, menikmati betul belajar di alam. ”Jam 10 pagi sampai jam setengah dua siang, baru anak-anak belajar di lokal,” imbuh Yessi Faiza.

Menariknya, sepulang dari sawah atau kebun, siswa-siswi tersebut langsung belajar di kelas. Bagi yang tidak sempat mandi ke asrama, langsung mengikuti pelajaran di kelas dengan pakaian masih berluluk.
Memang, umumnya para petani muda itu tinggal di asrama yang berada di kompleks sekolah. Dari 220 peserta didik, hanya satu dua yang tinggal di rumah orangtua. Itu pun bagi siswa yang tinggal di Padang. Khusus kelas I, diwajibkan tinggal di asrama. Biaya asrama gratis, mereka hanya dikenakan uang makan Rp 350.000 sebulan. Sedangkan uang SPP, sebesar Rp 75.000 sebulan.

”Yang sekolah di sini kan anak-anak petani dari keluarga tidak mampu. Makanya, yang anak Padang, orangtuanya minta tinggal di rumah saja. Jadi, uang makan Rp 350.000 di asrama kan bisa untuk makan sekeluarga,” sebut Yessi Faiza.

SMK bekas naungan Departemen Pertanian sebelum otonomi daerah itu, kini memiliki 2,5 hektare lahan praktik. 1,3 hektare adalah areal persawahan, yang baru saja dibeli di kawasan Sungailareh, sekitar 1 km dari sekolah. Sisanya, untuk lahan perkebunan yang berada di lingkungan sekolah.

Sebagai pencetak calon petani modern, para siswa diajarkan mulai dari kegiatan on farm (budidaya) hingga off farm. Mereka tidak saja ahli dalam bercocok tanam modern, tapi juga dituntut terampil memberi nilai tambah hasil pertanian, dan piawai dalam memasarkan produk.
Bila selama ini orangtua mereka bertani dengan cara tradisional alias primitif di kampung, generasi petani era internet dituntut menjadi petani modern. Mereka diajarkan mulai dari pengolahan tanah, iklim, pembibitan, sistem pengairan, pembuatan pupuk organik, penyakit tanaman dan obat-abatan, dan pengolahan hasil pertanian pascapanen.

Tak heran, hasil panen tanaman pangan dan hortikultura anak-anak SMK PP Lubuk Minturun, kualitasnya relatif lebih bagus dari hasil pertanian warga sekitar. Hasil panen tidak langsung dijual ke pasar. Melainkan, diolah terlebih dahulu menjadi berbagai produk makanan. Seperti keripik ubi atau bengkuang, susu kedele, tahu tempe, nata de aloe atau jus lidah buaya, pengolahan minyak serai, cokelat dan lainnya.

Setelah membuat produk makanan dan minuman itu, para siswa diajarkan agribisnis. Mereka dilatih berdagang komoditas pertanian. Selain dijual di koperasi siswa, produk-produk hasil pertanian itu juga dijual ke luar. ”Sebelum dijual, kami survei dulu berapa harganya di pasaran. Biasanya kami tarok harganya lebih murah. Setelah dapat pembelinya, baru kami jual,” kata Hanifah Winanda, siswa kelas 10 Jurusan Perkebunan, dari Batusangkar itu.

Kemampuan agribisnis atau off farm para siswa sebagai bekal agar mereka tidak terjebak praktik rentenir. Ketika harga komoditas jatuh, hasil pertanian tidak langsung dijual ke pedagang pengumpul. Tetapi, diolah dulu agar bernilai ekonomis. Para siswa pun diajarkan pengetahuan tentang seluk beluk tata niaga pertanian. Dengan begitu, panjangnya mata rantai pemasaran produk pertanian yang selama ini menguntungkan pedagang pengumpul, bisa dipangkas. Melalui internet, petani muda bisa berselancar di dunia maya mencari informasi harga komoditas agar tidak tertipu tengkulak.

Tak cukup dengan praktik di sekolah. Untuk mematangkan ilmu yang didapati, semester 5 para siswa dimagangkan di perusahaan-perusahaan perkebunan sawit dan di Institut Pertanian Organik (IPO) Aieangek, Kabupaten Tanahdatar. Meski begitu, pola belajar mengajar yang melahirkan tenaga petani terampil dan modern di SMK PP Lubuk Minturun itu, tidak lantas menjawab krisis petani di ”negeri rangkiang” ini. Lahan pegawai negeri sipil (PNS) tetap saja lebih hijau daripada rumput di lahan pertanian.

Yessi Faiza memperkirakan lulusannya yang betul-betul menjadi petani mandiri, hanya sekitar 8 persen. Sekitar 25 persen lagi, melanjutkan kuliah untuk mengejar menjadi PNS. Sisanya, bekerja di perusahaan-perusahaan perkebunan dan sektor lain.

Persoalan modal menjadi alasan utama mereka tidak kembali ”habitatnya”, di samping faktor psikologis lingkungan dan bayangan suramnya bekerja di sektor pertanian. Kebijakan pemerintah daerah di Sumbar yang dinilai belum pro-pembangunan pertanian, membuat para tenaga petani muda itu enggan mengikuti jejak orangtuanya. Potret petani yang identik dengan kemiskinan, melekat di benak generasi muda. ”Memang masih kental di masyarakat kita, cukup orangtua saja yang menjadi petani, anak-anak jangan sampai jadi petani,” ujar Yessi Faiza.

Namun begitu, Yessi tetap memberi motivasi kepada anak didiknya, bahwa usaha pertanian sangat menjanjikan bila ditekuni dengan serius. ”Selagi alam masih terkembang, orang tetap butuh hasil pertanian untuk makan,” ujar mantan pegawai Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Sumbar itu.

Ancaman terputusnya generasi petani itu bukan tanpa alasan. Di kampung-kampung, para penggarap sawah dan kebun rata-rata usia 50 tahun ke atas. ”Saya pernah baca data statistik tiga tahun lalu, tenaga petani muda kita hanya sekitar 4 persen,” ucap Yessi Faiza.

Meski saat ini ada bantuan modal bagi tiga orang lulusan SMK PP Lubuk Minturun dari APBD Sumbar dan APBN setahun, jumlahnya masih jauh dari memadai. Mujur, pada September 2011 lalu, Gubernur Sumbar Irwan Prayitno menjalin kerja sama dengan perusahaan pertanian Kagawa, Jepang, bagi lulusan SMK pertanian dan fakultas pertanian yang berminat magang di Negeri Sakura itu. ”Ini peluang besar bagi Sumbar melahirkan generasi petani muda,” ujar Yessi memotivasi.

Jumlah petani yang terus tergerus zaman, sekaligus menjadi tantangan bagi SMK PP Lubuk Minturun. Kurang seksinya sektor pertanian sebagai tempat menggantungkan hidup, perlahan membuat sekolah ini kekurangan siswa. ”Awal-awal reformasi memang sempat kekurangan siswa. Tapi empat tahun terakhir ini, mulai bagus. Kita jemput bola ke daerah, kalau bisa setiap nagari menyekolahkan anak nagari ke sini. Anak-anak inilah yang nantinya diharapkan bisa menggerakkan kelompok petani di kampung masing-masing,” harap Yessi.

Faktor lingkungan yang tidak mendukung itu, diakui para siswa. Awalnya, mereka diolok-olok teman-teman sekampung ketika memutuskan untuk melanjutkan pendidikan di sekolah pencetak tenaga petani itu. ”Kalau ingin menjadi petani untuk apa sekolah jauh-jauh ke Padang,” ungkap Agusria, siswa kelas 11 jurusan agribisnis perkebunan itu. Anak petani sawit asal Bayang, Pesisir Selatan ini, bahkan sering dicimeeh teman-teman ke sekolah membawa cangkul.

Pengalaman serupa juga dialami Nur Afni, siswa kelas 10 jurusan agribisnis perkebunan. Namun, olokan itu justru menjadi pelecut bagi anak petani asal Bukittinggi itu. Dia yakin, agribisnis pertanian memiliki prospek menjanjikan.

Agusria, Dafrinal, Nur Afni, Hanifah Winanda dan 216 siswa SMK PP Lubuk Minturun lainnya, bertekad menjadi penerus orangtuanya dari petani gurem menjadi ”petani berdasi”, untuk memutus mata rantai kemiskinan di sektor pertanian. (***)
[ Red/Redaksi_ILS ]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar