Kamis, 31 Januari 2013

Uang Zaman PDRI Itu, Dicetak di Halaban dan Ampalu

Dua warga Sumbar, bertahun-tahun mengoleksi uang Republik Indonesia Provinsi Sumatera. Klise uang itu dibuat oleh warga Sungayang, Kabupaten Tanahdatar, saat Mr Syafruddin Prawiranegara memimpin PDRI di Halaban dan Ampalu, Kabupaten Limapuluh Kota, setelah Presiden Soekarno, Wapres Muhammad Hata, Menlu Agus Salim, dan mantan Wakil Perdana Menteri Sutan Syahrir, ditawan Belanda ke Pulau Bangka tahun 1948. Seperti apa uang tersebut? LANGKAH Radianis, 58, tergo¬poh-gopoh saat berjalan kaki di kawa¬san Lobuahlintang, Nagari Ampalu, Ke¬camatan Lareh Sago Halaban, Ka¬bu¬paten Limapuluh Kota, Provinsi Su-matera Barat, Rabu (16/1) siang. Pe¬rempuan Minang bersuku Bodi itu da¬¬tang ke Nagari Ampalu yang berba¬ta¬s¬an langsung dengan Provinsi Riau, un¬tuk melihat pendirian Surau Mr Syaf¬ruddin Prawiranegara. Setiba di lokasi pendirian surau yang berada persis di pinggir sawah, ti¬dak jauh dari perkampungan pendu¬duk, Radianis memilih duduk di atas po¬¬tongan pohon kelapa. Potongan po¬hon kelapa itu dijadikan panitia pen¬di¬rian surau Mr Syafruddin Pra¬wira¬ne¬gara, sebagai ’bangku darurat’ untuk pa¬ra tamu maupun undangan yang ha¬dir dari berbagai daerah di Sumatera Barat. Radianis sendiri datang dari Nagari Halaban, Kabupaten Limapuluh Kota yang berjarak sekitar 6 km dari Nagari Ampalu dan sekitar 30 km dari Kota Payakumbuh. Radianis berangkat ke Nagari Ampalu dengan menaiki sepeda motor yang dikendarai suaminya di atas jalan berlobang, penuh dengan tanjakan dan kurang mendapat perawatan dari pemerintah daerah. Setelah beristirahat sekitar 15 menit, Radianis yang mengenakan hijab panjang berwarna merah jambu, mengeluarkan 3 lembar mata uang dari dalam tasnya. Begitu ketiga lembar mata uang tersebut dikeluarkan Radianis, sejumlah mata yang duduk di sampingnya, langsung melirik. “Apa itu, Nak?” tanya Haji Khairuddin, 81, saksi mata Peristiwa Situjuah 15 Januari 1949. “Ini pak, uang zaman Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI), peninggalan suami pertama saya,” kata Radianis sambil memperlihatkan 3 lembar mata uang. Dari ketiga lembar uang itu, satu berwarna merah, satu berwarna hijau, dan satu lagi berwarna sedikit dongker atau hijau pekat. Ketiga lembar uang itu terlihat sangat buram. Uang berwarna merah, bahkan sudah lusuh dan terkoyak-koyak. Pada bagian depannya, tertulis “LIMA PULUH RUPIAH”. Di samping kanannya, tertera tanda tangan Gubernur Sumatera, bertanggal 1 April 1948. Sedangkan di tengah-tengahnya, ada angka 50 yang ditulis besar-besar, dengan latar-belakang gambar menyerupai wayang dan bangunan. Sedangkan uang berwarna hijau, pada bagian depannya, bertuliskan “REPUBLIK INDONESIA PROPINSI SUMATERA” bernilai “DUA PULUH LIMA RUPIAH”. Pada uang tersebut, tertera tanggal 17 Januari 1940. Sedangkan di tengah-tengahnya, ada tulisan “Diterima sebagai pembajaran oleh segala Bank Negara Indoesia dari Kas Negara diseluruh Sum, untuk ditukar dgn mata uang R.I sesudah rasmi dikeluarkan di Sumatera”. Adapun pada uang berwarna sedikit dongker atau hijau pekan, tertera kalimat “TANDA PEMBAYARAN JANG SAH LIMA RUPIAH”. Uang ini dikeluarkan di Bukittinggi, 1 Januari 1948. Dari lembaran depannya, terlihat gambar matahari di balik gunung dan pohon kelapa. Sedangkan di lembaran belakangnya, tertera tulisan “Tanda pembajaran ini dianggap sah sebagai uang kertas seperti tersebut dalam pasal IX sampai XII dari Undang-Undang Presiden No.1 th.1946 tentang peraturan hukum pidana”. Tidak lama setelah Radianis memperlihatkan ketiga lembar uang tersebut kepada Haji Khairuddin dan sejumlah orang yang berada di sampingnya, uang tersebut langsung berpindah ke tangan Ujang, tokoh masyarakat Nagari Halaban yang ikut hadir di Nagari Ampalu. Ujang Hadir bersama Wali Nagari Halaban Hamdan, Wali Nagari Tanjuanggadang Rilson dan sejumlah pemuka masyarakat Kecamatan Lareh Sago Halaban. Oleh Ujang yang mengenakan baju warna orange, uang itu dipamerkan kepada tamu dan undangan lain. Kontan saja, suasana menjelang peletakan batu pertama, tanda dimulainya pembangunan surau Mr Syafruddin Prawiranegara, menjadi lebih berwarna. “Tengoklah, ada uang zaman PDRI,” kata Eka Kurniawan Sago Indra, pentolan Serikat Petani Indonesia Sumatera Barat yang datang bersama Ombak Zal dari Pangkalan. Menurut Radianis yang ditemui Padang Ekspres selepas acara pendirian surau Mr Syafruddin Prawiranegara, Uang Republik Indonesia Provinsi Sumatera (URIPS) pecahan 50 Rupiah, 25 Rupiah dan 5 Rupiah, merupakan peninggalan suami pertamanya Bachtiar Ismail. “Ini peninggalan suami pertama yang menikahi saya. Beliau, menikahi saya, saat saya masih berusia 15 tahun,” kenang Radianis, dengan nada bergetar. Menurut Radianis, suami pertamanya bernama Bachtiar Ismail, berasal dari Kampung Sawah Parik, Desa Balai Di Ateh, Sungayang, Batusangkar, Kabupaten Tanahdatar. Dia dulunya, berteman akrab dengan bapak Radianis bernama Tarusan. “Mereka, dulu sama-sama pernah berdagang ke berbagai kampung. Oleh bapak saya Tarusan, kami dinikahkan. Pernikahan itu direstui ibu saya yang bernama Radusan,” cerita Radianis. Dari pernikahan tersebut, Radianis dan Bachtiar Ismail tidak dikaruniai anak. Tapi dari istri pertamanya, Bachtiar dikarunia 2 orang anak. “Suami pertama saya itu dulu pernah tinggal di Sungaimanggih, Jorong Padangaua, Nagari Ampalu, tepatnya di rumah suami-istri Razis Dt Sutan Simarajo dan Siti Mala. Kini, anak pasangan suami-istri tersebut, malah menjadi suami saya,” ucap Radianis, sambil tersenyum. Radianis menuturkan, sebelum menutup mata sekitar tahun 2000, Bachtiar Ismail sering bercerita tentang peranan dirinya sebagai pembuat klise mata Uang Republik Indonesia Serikat. “Sebagai pembuat klise, suami pertama saya pernah mendapat penghargaan dari Menteri Keuangan Ma’rie Muhamad tahun 1996 atas pengabdian terhadap negara dan pemerintah, khususnya dalam bidang pencetakan ORI tahun 1945-1950,” kata Radianis. Sayang, tidak banyak cerita yang dikorek Radianis dari Bachtiar Ismail soal proses pembuatan Uang Republik Indonesia Provinsi Sumatera yang diakui Bank Indonesia tersebut. “Mendiang Bahciar Ismail hanya mengatakan kepada saya bahwa pada zaman Jepang, dia bekerja di Padang Nipo, semacam studio foto yang ada di Padang. Gurunya orang Jepang bernama Sano, sangat sayang kepada dirinya. Adapun ilmu membuat klise, didapatnya saat berguru dengan orang Jepang tersebut,” kata Radianis. Sewaktu PDRI 1948-1949 diproklamirkan di Sumatera Tengah untuk menyelamatkan Republik Indonesia dari cengkaraman Agresi II Belanda, menurut Radianis, suami pertamanya yang sudah menjadi tentara, dipercaya Ketua PDRI Mr Syafruddin Prawiranegara untuk membuat klise uang. Awalnya, uang dibuat di Surau Pak Yaya, kawasan Tadah, Nagari Halaban. Karena situasi keamanan, Pemerintahan Darurat Republik Indonesia pimpinan Mr Syafruddin Prawiranegara, diungsikan dari Nagari Halaban ke Nagari Ampalu. “Di nagari inilah, suami saya kembali mencetak uang. Tapi, saya tidak tahu persis di mana tempatnya. Mungkin masyarakat Nagari Ampalu yang berusia di atas 80 tahun, banyak yang tahu,” sebut Radianis. Soal keberadaan peralatan yang digunakan Bachtiar untuk percetakan URIPS, Radianias juga tidak tahu mengetahuinya. “Kata suami saya, alat mencetak uang itu selalu dibawa sepanjang perjalanan PDRI dari rimba ke rimba. Jadi, saya tidak tahu pasti. Yang jelas, setelah suami pertama saya itu meninggal, saya menyimpan 3 lembar uang hasil cetakannya,” ucap Radianis. Jika sewaktu-waktu uang yang dikoleksinya itu “dipinjam” oleh pemerintah, untuk keperluan yang bermanfaat bagi penelitian, penulisan maupun pelurusan sejarah PDRI, Radianis bersedia meminjamkannya. “Tapi kalau untuk dijual, saya terus terang saja, belum mau. Sebab, ketiga lembar uang ini adalah warisan,” ucap Radianis. Selain Radianis, ada pula seorang lagi warga Nagari Ampalu, Kecamatan Lareh Sago Halaban, Kabupaten Limapuluh Kota yang mengoleksi URIPS. Warga tersebut bernama Datuak Patiah. Dia tinggal di kawasan Manggunai Tinggi. Uang yang ada di tangan Datuak Patiah adalah uang pecahan Rp 10. Uang tersebut bertanggal 17 Januari 1948. Warnanya biru tua, dasarnya jingga. “Uang ini bergambar Tuanku Imam Bonjol dan Rumah Gadang,” kata Datuak Patiah kepada Padang Ekspres. Kabarnya, uang yang hanya berlaku di Sumatera Tengah itu, dulunya dicetak setelah dipesan oleh Residen Sumatera Barat Mr Sutan Muhammad Rasyid. Selain punya beberapa lembar uang pecahan Rp 10 yang merupakan warisan dari ayah kandungnya, Datuak Patiah memiliki paper atau kertas uang tersebut. “Ini saya berikan separuh buat diteliti ataupun apalah namanya,” kata Datuak Patiah kepada Yudilfan Habib, aktivis LSM yang datang ke Nagari Ampalu. Sebelumnya, Datuak Patiah pernah menyerahkan URIPS pecahan Rp 10 kepada anggota anggota DPD RI Am Fatwa dan dua putra-putri Mr Syafruddin Prawiranegara yang berkunjung ke Payakumbuh, untuk menghadiri acara penyerahan PDRI Award dari YPP PDRI 1948-1949, sekitar Desember 2012 silam. Menurut mantan Pemimpin Bank Indonesia Medan Iramady Irdja, dalam sejarah uang di Indonesia, selain dikenal Oeang Repoeblik Indonesia (ORI), juga dikenal apa yang disebut dengan Oeang Repoeblik Indonesia Daerah (Orida). “Nah, Orida ini dikeluarkan oleh pemerintah daerah tingkat provinsi, karesidenan dan kabupaten. Ini terjadi semasa perang kemerdekaan pada 1947 sampai 1949,” kata Iramady, secara terpisah. Putra Payakumbuh yang sedang rajin meneliti mata uang zaman PDRI itu mengatakan, Orida terbit atas izin Pemerintah Republik Indonesia guna mengatasi persoalan kekurangan uang tunai di daerah, akibat terputusnya komunikasi normal antara pusat dan daerah. “Waktu terjadi agresi militer pertama Belanda 21 Juli 1947 dan agresi militer kedua Belanda pada 19 Desember 1948, komunikasi pusat dan daerah terputus. Peredaran mata uang sangat sulit. Makanya, pemerintah pusat memberi wewenang kepada daerah, untuk menerbitkan Orida,” kata Iramady Irdja yang kini bermukim di Yogyakarta. Menurut catatan Bank Indonesia, sebut Iramady, Orida pertama dibuat di Pulau Jawa adalah “Uang Kertas Darurat Untuk Daerah Banten”. Emisi pertama uang kertas ini tertanggal 12 Desember 1947. Dasar hukumnya adalah Instruksi Pemerintah Pusat RI kepada Residen Banten Kiai Haji Achmad Chatib, untuk mencetak dan menerbitkan uang daerah yang berlaku sementara. “Sedangkan di Sumatera, Urida pertama adalah URIPS (Uang Republik Indonesia Propinsi Sumatera). Emisi pertama Urips tertanggal 11 April 1947, berdasarkan maklumat Gubernur Sumatera Mr. Tengku Moehammad Hasan No. 92/K.O., tertanggal 8 April 1947. Pencetakan URIPS itu semula ada di Pematang Siantar, Sumatera Utara, tapi karena ada Agresi, dipindahkan ke Bukittinggi,” ujar Irmady Irdja. Bukan hanya menyimpan beberapa lembar URIPS, Datuak Patiah dari Nagari Ampalu juga mengoleksi surat dari Ketua PDRI Mr Syafruddin Prawiranegara. Surat tersebut ditujukan buat warga Nagari Ampalu bernama Muhammad Zein. Dalam surat itu, terungkap kerinduan-kerinduan Mr Sutan Prawiranegara, terhadap keelokan alam Ampalu dan keramahan masyarakat setempat. Menurut pengurus Yayasan Peduli Perjuangan PDRI 1948-1949 Ben Yuza dan Ferizal Ridwan, masyarakat di Sumbar memang masih banyak yang menyimpan bukti-bukti sejarah PDRI, termasuk uang dan surat-surat pernting. “Bahkan, ada satu lagi warga kita yang mengaku, punya mesin bekas mencetak uang PDRI. Sekarang, ia sedang tidak di kampung. Kalau nanti pulang, kita ke sana,” kata Ferizal Ridwan. (***)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar