Selasa, 17 Juli 2012

ANAK PIATU Dari Lintau Hendak ke Al Azhar

Wardianto namanya. Sudah ditinggal mati ibundanya sejak umur 17 bulan. Dia tinggal berpindah-pindah dari satu saudara ke saudara lainnya. Bekerja ini dan itu untuk biaya sekolah. Jualan pulsa, angkat pasir, produksi roti, ceramah dan banyak kerja lainnya. Meski begitu, dia tak pernah putus asa dalam menggapai cita-cita. Sejak kelas 5 SD dia sudah mengimpikan Universitas Al Azhar. Sudah direncanakannya untuk melanjutkan sekolah ke MTS dan MAN. Meski keluarga menyuruh untuk ke STM saja agar bisa langsung bekerja setelah tamat. Setahun lalu, setelah lulus dari MAN 2 Batusangkar dia langsung saja ikut tes ke Al Azhar. Wardianto sudah berprestasi sejak kecil, ketika duduk di bangku MTS posisi juara umumnya tak pernah bisa digeser oleh orang lain. Sampai dapat pula dia kesempatan untuk studi banding ke sekolah-sekolah unggul di Malaysia dan Singapura bersama Bupati Tanah Datar dan juara umum dari sekolah lainnya. Saat MAN, dia selalu pada posisi tiga besar. Menjuarai lomba debat, tafsir, pemahaman kandungan Alquran juga lomba-lomba lainnya pun sudah biasa. Sayang, waktu tes tahun lalu itu dia gagal. Keluarga sempat kecewa. Uang hasil dari penjualan emas peninggalan almarhum ibunya yang masih tersisa sedikit dijadikan biaya dia untuk kuliah di STAIPIQ Padang sembari terus bekerja sampingan. Sebulan kuliah, naas menimpa. Kecelakaan menimpanya, motor yang ditumpangi bersama teman tabrakan dengan motor di Kayu Tanam. Dalam keadaan sakit seperti itu, keluarganya di Simpang Kulit Manis, Jorong aliran Sungai, Nagari Taluk, Lintau Buo, Tanah Datar melihat kalau di dinding kamarnya banyak sekali tertempel gambar-gambar Al Azhar, gambar Mesir. Sempat dia dikatakan stres/gila. “Etek, mamak, sempat mengkhawatirkan saya dan mengatakan sudah lah tak usah lagi bermimpi untuk ke Al Azhar, untung Uwo (Nazaruddin) tetap memberi motivasi,” kenang Wardianto. Banyak kata-kata lain pula dari tetangga tidak ada gunanya pergi ke Al Azhar, kalaupun lulus tes, mana mungkin dia mendapatkan biaya untuk berangkat dan biaya hidup di sana. Habis kecelakaan, meski sebulan tidak mengikuti kuliah, IP nya tetap sempurna, 4. Pada tes tahap I, dia berhasil lulus. Menyingkirkan 2000 lebih orang yang ingin masuk Al Azhar. Setelah tahap kedua hanya 400-an yang lulus dan Wardianto berada pada urutan 51. Lulus ke Al Azhar, bebas biaya kuliah, namun masih harus memikirkan biaya keberangkatan, pengurusan berkas dan biaya hidup barang beberapa bulan di sana. Saat ini, dia membutuhkan uang Rp9,5 juta untuk biaya tersebut. Meski bergetar dengkulnya mendengar nominal tersebut, dia tetap optimis. Didatanginya lembaga-lembaga yang sekiranya bisa memberikan bantuan padanya. “Kalau sungguh-sungguh insya Allah akan ada jalan, saya ingin mengubah nasib, selama ini rasanya hidup pas-pasan dan tinggal menumpang, saya ingin jadi ulama,” katanya pada Singgalang, Senin (16/7). Kalau di kampung, pemahaman masyarakat tentang ustadz adalah orang yang tahu dengan surau dan kitab saja. Dia ingin mengubah pandangan itu bahwa ulama adalah orang yang serba bisa, agama itu mengatur semua lini kehidupan. Cita-citanya, dosen, harapannya tak hanya S1 yang dia selesaikan tapi juga sampai doktor. “Agar saya juga berperan dalam mencetak generasi Islam khususnya orang Minang yang mumpuni,” katanya. Cita-cita tinggi itu kini terhalang, Kamis (19/7) dia harus sudah membayar uang Rp9,5 juta untuk biaya pengurusan surat-surat termasuk ongkosnya nanti ke Kairo. “Itu dana yang harus disetor awal, kemungkinan akan lebih karena biaya tersebut belum masuk sewa tempat tinggal, diktat,” terangnya. Jarang ditemui anak muda yang gigih dan konsisten dengan cita-cita seperti Wardianto. Mari bantu calon ulama Sumbar ini. Salurkan donasi pendidikan Anda untuk Wardianto melalui Dompet Dhuafa Singgalang. Kunjungi Graha Kemandirian Dompet Dhuafa Singgalang di Jalan Juanda No.31 C Pasar Pagi Padang atau telepon 0751 40098. (winda)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar