Senin, 11 Maret 2013

Jorong bukik tamosu terancam terisolasi

TANAH DATAR — Sekitar 200 kepala keluarga di Jorong Bukiktamasu, Nagari Balimbiang, Kecamatan Rambatan, terancam terisolasi. Pasalnya, jembatan satu-satunya yang menjadi akses mereka ke luar kini terancam ambruk. TERGELINCIR “Jembatan ini seingat saya dibangun pada penghujung tahun 1950-an. Sudah tua sekali. Konstruksinya pun belum menggunakan teknologi bangunan modern. Kini pangkalnya sudah terban. Kalau tetap dibiarkan, dikhawatirkan jembatan ini akan ambruk,” terang Firdaus Surdi, 53, seorang warga yang tinggal tidak jauh dari kawasan itu, kepada Singgalang, kemarin. Dikatakan, akibat gerusan air dan lantaran sudah berusia tua, pangkal jembatan itu pun terban, Kamis (7/2). Sebuah minibus yang sedang melintas nyaris terjerembab dan terperangkap di pangkal jembatan itu. Sejak saat itu, kendaraan roda empat tak bisa lagi sampai ke ujung Jorong Bukiktamasu. Menurut Firdaus, jembatan itu merupakan akses utama masyarakat Jorong Bukik Tamasu menuju Pasar Balimbiang, Rambatan maupun Batusangkar. Selain kepentingan perekonomian, jembatan yang melintas di atas Sungai Batang Pudiang di kampung bernama Batukambiang tersebut, juga merupakan akses utama anak-anak warga ke sekolah. “Kami berharap, Pemkab Tanah Datar berkenan memperbaikinya sesegera mungkin. Pasalnya, sejak ditimbun oleh instansi terkait dengan tanah, pangkal jembatan itu malah jadi semakin berbahaya untuk dilewati kendaraan roda dua. Jalan jadi licin, beberapa pengendara kerap tergelincir dan rebah di situ,” ucapnya. Walinagari Nagari Balimbiang, Sy. Dt. Peto Sutan, mengaku, ambruknya pangkal jembatan itu telah dilaporkan kepada Bupati Tanah Datar segera setelah terjadinya musibah. Laporan itu pun telah ditindaklanjuti oleh instansi terkait dengan menimbun pangkal jembatan yang terban menggunakan tanah timbunan. “Saya sudah laporkan. Laporan itu telah ditindaklanjuti. Tapi lantaran curah hujan cukup tinggi akhir-akhir ini, kondisinya malah berubah jadi licin dan rawan untuk dilewati. Sementara masyarakat terpaksa melaluinya karena sarana vital perekonomian, pendidikan dan akses masyarakat satu-satunya. Banyak juga masyarakat yang terjatuh ketika melewatinya,” ujar dia. Saat ini, jalan kabupaten yang membelah Bukiktamasu kondisinya mulai memprihatinkan. Di samping jembatan yang terban itu, badan jalan pun sudah banyak yang berlobang. Warga berharap, perbaikan jembatan dan jalan dapat disejalankan. Bila itu tak dilakukan, dikhawatirkan justru akan berpengaruh pula terhadap pembangunan akses masyarakat ke Kabupaten Solok yang kini pengerjaan jembatannya sedang berlangsung. Pemprov Sumbar sedang membangun jembatan yang melintasi Batang Ombilin guna menghubungkan Nagari Bukik Kanduang, Kabupaten Solok, dengan Bukik Tamasu di Nagari Balimbiang. “Bila jembatan itu tahun depan sudah selesai, maka jalan raya Bukiktamasu ini jadi semakin penting artinya, karena menghubungkan dua kabupaten bertetangga. Nah, apa jadinya kalau jembatan tua di Batu Kambiang ini tak segera diperbaiki,” ujar walinagari bernada tanya. Kehadiran jembatan yang tengah dibangun itu, selain bisa memperlancar akses kegiatan ekonomi masyarakat Nagari Balimbiang, juga akan memperlancar akses masyarakat di daerah tetangga ke sentra perdagangan di pasar Balimbiang. Jalan dan jembatan itu, tambahnya, juga bisa menjadi jalan alternatif, karena dapat memperpendek jarak Solok-Batusangkar hingga 15 kilometer dibanding dengan melewati ombilin.(211)

Baca Selengkapnya..

Anak Randai Tanah Datar Tampil Di Malaysia

TANAH DATAR – Kesenian tradisional Minangkabau, kini kian diminati di mancanegara, salah satunya randai. Pemkab Tanah Datar bertekad, randai harus tetap dikembangkan sehingga menjadi suguhan budaya yang mempesona. Demikian diutarakan Wakil Bupati Hendri Arnis, saat melepas keberangkatan grup randai Intan Korong, asal Jorong Subang Anak, Batipuah Baruah, Kamis (7/3), menuju Malaysia. Kelompok ini akan manggung di negeri jiran agtas undangan salah seorang perantau di Malaysia, H. Zulfahmi Dt. Sinaro Panduko. “Saya sangat memberi apresiasi positif atas keuletan masyarakat Batipuah Baruah dalam melestarikan dan mengembangan seni budaya tradisional, termasuk randai. Ini merupakan kekayaan budaya yang tak terhingga nilainya. Ke depan, seni tradisional randai diharap juga dapat memberi kontribusi bagfi pengembangan sektor pariwisata,” ujarnya. Kelompok randai yang dipimpin Dagtuak Angkayo itu, diminta wabup untuk dapat menyuguhkan kreasi terbaik, sehingga sebagai duta Tanah Datar, diharap bisa menjaga nama baik daerah. Wabup juga membantu rombongan dalam bentuk uang tunai, sebagai tambahan perbekalan selama melakukan lawatan di Malaysia. Pada kegiatan itu, hadir Camat Batipuh Osman bin Nur, Walinagari Batipuah Baruah Khairul Anwar, Kabag Humas Desrizal dan masyarakat setempat. (211)

Baca Selengkapnya..

Rabu, 20 Februari 2013

Kelantan Bakal Gelar Karnaval Silat Nusantara

Batusangkar, Padek—Kar¬nival Seni Silat Nusantara Kelantan akan digelar. Kar¬naval ini di usung Pertubuhan Gabungan Seni Silat Warisan Nusantara Kelantan, Malaysia dan akan diikuti oleh pergu¬ruan silat Minangkabau asal Tanahdatar pada Juni men¬dating Ketua Pertubuhan Ga¬bung¬an Seni Silat Warisan Nusantara Kelantan H Mu¬ham¬mad Rasdy didampingi Presiden Silek Lintau Kelantan Dr. Kamal Shah bin Abdullah Zawawi kepada koran ini ke¬ma¬rin. Sebelumnya melaku¬kan kunjungan kepertubuhan gabungan seni silat Warisan Nusantara Kelantan bersama Pengurus yayasan Annur Ab¬dul Rahman Batipuh M Dt Sidi Ali dan Ulfah Hanum SE. Kedatangan pengurus ya¬ya¬san ini ke Negeri Kelantan atas undangan Presiden Silek Lintau Kelantan Dr Kamal Syah. Disambut Haji Rasdy Bin Abdullah Yang Dipertuan WARIS (Presiden Pertubuhan Seni Silat Gayungman Gera¬kan Satu, Kelantan) Dr. Kamal Shah Timbalan Pengerus WA¬RIS (Pertubuhan Seni Silat Lintau, Kelantan Encik Zul (Persatuan Seni Silat Gayong Maarifat, Kelantan), Cikgu Zul (Pertubuhan Silat Seni Gayong Warisan Kelantan) AJK WA¬RIS Shafie bin Husin (Pertu¬buhan Silat Seni Gayungman Segerak Kelantan) Fauzi bin Abdul Aziz (Pertubuhan Seni Silat Teralak Tunggal Kelan¬tan). Mohd Yusof bin Che Man (Pertubuhan Seni Silat Pesan Sakti Kelantan), Rosdey bin Rajab. Rosmadi bin Rajab (dua beradik ini daripada Pertubuh¬an Silat Seni Gayong Tiga Kali¬mah Kelantan) dan Che Mohd Zin bin Che Yaacob (Pertu¬buhan Seni Silat Sekebun Ke¬lan¬tan) Menurutnya karnival ter¬sebut dirancang selama 3 hari 2 malam dan akan diisi dengan Silat dan penampilan persem¬bahan budaya Kelantan dan Minangkabau. Khusus untuk Tanahdatar dia akan mengun¬dang berapa sasaran Silat dari Kabupaten Tanahdatar untuk bisa tampil dari festival silat tersebut dan akan mengirim surat nantinya seperti Silek Lintau, Silek Gadang Taduang Bangkeh Yayasan Annur Abdul Rahman Batipuh, Silek Tuo Pagaruyung, Silek Taralak dan Silek Kumango termasuk ke¬pa¬da Ketua IPSI (Ikatan Pen¬cak Silat Indonesia) Tanah¬datar dan Presiden Silek Mi¬nang David Suhu, untuk bisa hadir dalam festival silat. Di samping juga akan diadakan urung rembung atau diskusi tentang perkembangan Silat antara dua Negara khusus Kelantan Malaysia dan Tanah¬datar (Sumatera Barat) untuk bisa mempererat hubungan silaturahmi antara pesilat kelantan dan pesilat Minang. Apalagi di kelantan ini ada berapa aliran silat yang berasal dari silat minang seperti silat Lintau,dan juga silek Teralak dan sebagian besar silat yang berkembang berasal dari dae¬rah Minangkabau. Karena itu dia juga minta kepada Yayasan Annur Abdul Rahman Batipuh ikut memfa-silitasinya nanti dengan sasa¬ran silat yang akan diundang nanti dan diharapkan silat itu juga bisa dihadiri oleh raja Kelantan dan menteri besar kelantan.nantinya apalagi juga akan makin memperat hu¬bung¬an kedua Negara tegas¬nya lagi.(mal)

Baca Selengkapnya..

Jalan Negara dan Provinsi ‘Keriting-Berlobang

TANAH DATAR – Jalan negara dan provinsi yang membentang di Kabupaten Tanah Datar, kini kondisinya memprihatinkan. Selain banyak yang keriting dan bertabur lobang, permukaannya pun banyak yang kasar akibat tambal sulam. Pantauan Singgalang beberapa pekan belakangan, kondisi jalan negara yang sangat membahayakan bagi pengguna jalan terdapat di kawasan Nagari Batipuah Baruah, persisnya sejak dari batas kota Padang Panjang hingga ke Kubu Karambia. Jalan itu rusak parah, diduga akibat banyaknya truk melebihi tonase yang melewatinya beberapa waktu lalu. “Kalau sudah keluar dari batas kota Padang Panjang, bila Anda hendak menuju Solok, maka hati-hati sajalah. Ada puluhan lobang menganga siap menjebak Anda, tersebar di sepanjang jalan hingga ke Kubu Karambia. Lobang-lobang terparah ditemukan di kawasan Congkong dan Batang Gadih,” kata Roni, 22, seorang warga Tanah Datar yang setiap hari bolak-balik dari Batipuah ke Padang Panjang untuk urusan perkuliahan. Dikatakan, dia sering menemukan kendaraan yang rusak akibat terperangkap lobang menganga yang cukup dalam. Ada beberapa jenis kerusakan yang dialami kendaraan, misalnya patah per. Romi mengaku, dia juga pernah menyaksikan truk yang roda belakangnya lepas sehabis terperosok ke lobang di depan sebuah panti asuhan di daerah Congkong. Jalan negara yang panjangnya diperkirakan hampir lima kilometer itu, juga sangat berbahaya bagi pengendara sepeda motor. Bila tidak waspada, jalan yang keriting dan dipenuhi lobang menganga tersebut, bisa saja memicu terjadinya kecelakaan lalu lintas yang berakibat fatal bagi pengendara kendaraan roda dua. Sementara itu, jalan provinsi yang menghubungkan Kubu Karambia dengan Batusangkar, kini kondisinya juga banyak memperihatinkan. Pada berbagai titik, ditemukan pula beberapa lobang menganga dan permukaan jalan yang tidak rata alias keriting. Realitas ini terutama ditemukan sejak dari Kubu Karambia hingga Simabur. Untuk menghindari agar tidak berjatuhan korban akibat kondisi jalan yang tidak bagus itu, Roni meminta kepada pemerintah untuk segera memperbaikinya. “Di daerah lain jalan negara dan provinsi itu banyak yang mulus, kenapa di Tanah Datar justru dibiarkan seperti ini? Kepedulian aparat terkait sangat ditunggu,” tegasnya.

Baca Selengkapnya..

Kamis, 31 Januari 2013

Pasien Bibir Sumbing Operasi Gratis

Batusangkar, Padek—Se¬ba¬nyak 32 orang penderita sumbing yang berasal dari Tanahdatar, Agam dan Sijunjung di operasi di RSU M Hanafiah Batusangkar yang dilaksanakan oleh tim dok¬ter bedah dari RS Sadikin Ban¬dung. “Operasi ini kerjasama Or¬ga¬ni¬sasi Indo Jalito peduli dengan Yayasan Pembina Penderita Bibir Sumbing Bandung di bawah Koordinator ahli Bedah Prof Dr Sunardi,” ujar wakil Perantau Tanahdatar Nelson Darwis SH didampingi Koordinator Pen¬derita Bibir Sumbing Indo Jalito Ananta Tria Yunus kemarin. Para penderita bibir sumbing itu berasal dari Tanahdatar se¬banyak 24 Orang, Agam 6 orang dan Sijunjuang sebanyak 2 orang. Sementara kepada keluarga dan anak-anak operasi sumbing ter¬sebut tidak dikenakan biaya, malah para orang tua dan anak diberi biaya tranportasi. Se-dang¬kan untuk operasi bibir sumbing mendatangkan 19 orang dokter bedah yang berasal dari RSU Hasan Sadikin Bandung, RSU Medan, Pekanbaru dan dari RSU M Hanafiah Batusangkar. Bupati Tanahdatar Shadiq Pasadigoe menyampaikan aspre¬siasinya kepada organisasi Indo Jalito yang selama ini telah ba¬nyak memberikan bantuan kepa¬da masyarakat melalui kegiatan peduli kampung halamannya. Kegiatan yang dilakukan itu sangat membantu pemerintah daerah apalagi di tengah ter¬batasnya dana yang dimiliki Pemkab Tanahdatar.(mal)

Baca Selengkapnya..

Kemenkominfo Berikan Beasiswa

Batusangkar, Padek—Ke¬men¬terian Kominfo RI setiap tahun memberikan bea siswa bagi kala¬ngan PNS diberbagai Perguruan Tinggi di Indonesia termasuk keluar Negeri terutama dalam bidang pengembangan IT di samping kerjasama dengan TTC Jepang. Hal itu diungkapkan Kepala Badan Litbang Kementerian Kominfo, Azirman Jusan waktu membuka Workshop aplikasi Teknologi Informasi dan Ko¬mu¬nikasi bagi pimpinan Dishub¬ko-minfo se Sumatera Barat dan serta SKPD se Kabupaten Ta¬nah¬datar, Selasa (22/1) di Pa¬ga-ruyung, Aula Kantor Bupati Ta¬nah¬datar. Workshop ini juga di¬hadiri Tim ITC Jepang dan te-na¬ga TI dari Philipina dan Thailand. Untuk tahun ini, ujar Azirman Jusan, bea siswa tersebut di¬be¬rikan untuk pendidikan bea siswa S 2 kepada 300 orang dan me¬reka yang diberikan bea siswa ter¬sebut belajar diberbagai Per-gu¬ruan Tinggi Indonesia yang me¬ngem¬bangkan Teknologi Infor¬ma¬si seperti Unitas, UGM, ITB dan juga Unand. Untuk keluar Negeri diberikan sebanyak 60 orang dan diantaranya ke Australia dan berapa negara lainnya karena saat ini, kebutuhan infor¬ma¬si tidak bisa dielakan dan kita harus tetap berusaha me¬ning¬kat¬kan teknologi Informasi dan jika tidak kita akan tertinggal dengan Ne¬gara lain. “Begitu pentingnya informasi itu saat, ini, kita melihat ba¬gai¬mana kecendrungan masyarakat kita dalam mempergunakan in¬ter¬net dan mempergunakan HP, bahkan waktu baru bangun tidur saja, yang mereka cari dan me¬reka kejar apa informasi terbaru dan apa SMS yang masuk dan informasi apa yang ingin mereka butuhkan sudah bisa mereka dapatkan,” ujarnya. Sehingga atas dasar itu pu¬la¬lah Kementerian Kominfo me¬ra¬sa sangat berkepentingan dalam pengembangan informasi ter¬se¬but dan salah satu diantaranya Kementerian Kominfo telah me-la¬kukan kerjasama dan men¬da¬pat bantuan dari APT dan TTC berupa Hibah bersama sejumlah negara lainnya dalam bentuk kerjasama dibidang Teknologi In¬formasi. Dan kita telah mem¬pe¬roleh bantuan kerjasama Tek¬no¬logi Informasi sebanyak 3 kali yang diujicobakan dan telah berhasil dalam penerapannya di Kalimantan Tengah, Palang¬kar¬ya dan Kabupaten Tanah Datar dan hasilnya telah kita rasakan saat ini. Sementara itu Bupati Tanah¬da¬tar M Shadiq Pasadigoe me¬nyam¬paikan mengakui bahwa Tek-nologi Informasi dan Ko¬mu¬nikasi memiliki peranan stra¬tegis dalam menunjang segala as-pek dan bidang kehidupan. Di Tanahdatar sejak 2009 sampai tahun 2012 telah mendapat ke-per¬cayaan dari Kementerian Ko¬minfo RI dan TTC Jepang un¬tuk mendapatkan bantuan ja-ringan Fiber optic dari TTC Jepang. Sampai saat ini telah terhubung sebanyak 15 lokasi terhubung dalam jaringan fiber dan 9 lokasi terhubung. (mal)

Baca Selengkapnya..

Uang Zaman PDRI Itu, Dicetak di Halaban dan Ampalu

Dua warga Sumbar, bertahun-tahun mengoleksi uang Republik Indonesia Provinsi Sumatera. Klise uang itu dibuat oleh warga Sungayang, Kabupaten Tanahdatar, saat Mr Syafruddin Prawiranegara memimpin PDRI di Halaban dan Ampalu, Kabupaten Limapuluh Kota, setelah Presiden Soekarno, Wapres Muhammad Hata, Menlu Agus Salim, dan mantan Wakil Perdana Menteri Sutan Syahrir, ditawan Belanda ke Pulau Bangka tahun 1948. Seperti apa uang tersebut? LANGKAH Radianis, 58, tergo¬poh-gopoh saat berjalan kaki di kawa¬san Lobuahlintang, Nagari Ampalu, Ke¬camatan Lareh Sago Halaban, Ka¬bu¬paten Limapuluh Kota, Provinsi Su-matera Barat, Rabu (16/1) siang. Pe¬rempuan Minang bersuku Bodi itu da¬¬tang ke Nagari Ampalu yang berba¬ta¬s¬an langsung dengan Provinsi Riau, un¬tuk melihat pendirian Surau Mr Syaf¬ruddin Prawiranegara. Setiba di lokasi pendirian surau yang berada persis di pinggir sawah, ti¬dak jauh dari perkampungan pendu¬duk, Radianis memilih duduk di atas po¬¬tongan pohon kelapa. Potongan po¬hon kelapa itu dijadikan panitia pen¬di¬rian surau Mr Syafruddin Pra¬wira¬ne¬gara, sebagai ’bangku darurat’ untuk pa¬ra tamu maupun undangan yang ha¬dir dari berbagai daerah di Sumatera Barat. Radianis sendiri datang dari Nagari Halaban, Kabupaten Limapuluh Kota yang berjarak sekitar 6 km dari Nagari Ampalu dan sekitar 30 km dari Kota Payakumbuh. Radianis berangkat ke Nagari Ampalu dengan menaiki sepeda motor yang dikendarai suaminya di atas jalan berlobang, penuh dengan tanjakan dan kurang mendapat perawatan dari pemerintah daerah. Setelah beristirahat sekitar 15 menit, Radianis yang mengenakan hijab panjang berwarna merah jambu, mengeluarkan 3 lembar mata uang dari dalam tasnya. Begitu ketiga lembar mata uang tersebut dikeluarkan Radianis, sejumlah mata yang duduk di sampingnya, langsung melirik. “Apa itu, Nak?” tanya Haji Khairuddin, 81, saksi mata Peristiwa Situjuah 15 Januari 1949. “Ini pak, uang zaman Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI), peninggalan suami pertama saya,” kata Radianis sambil memperlihatkan 3 lembar mata uang. Dari ketiga lembar uang itu, satu berwarna merah, satu berwarna hijau, dan satu lagi berwarna sedikit dongker atau hijau pekat. Ketiga lembar uang itu terlihat sangat buram. Uang berwarna merah, bahkan sudah lusuh dan terkoyak-koyak. Pada bagian depannya, tertulis “LIMA PULUH RUPIAH”. Di samping kanannya, tertera tanda tangan Gubernur Sumatera, bertanggal 1 April 1948. Sedangkan di tengah-tengahnya, ada angka 50 yang ditulis besar-besar, dengan latar-belakang gambar menyerupai wayang dan bangunan. Sedangkan uang berwarna hijau, pada bagian depannya, bertuliskan “REPUBLIK INDONESIA PROPINSI SUMATERA” bernilai “DUA PULUH LIMA RUPIAH”. Pada uang tersebut, tertera tanggal 17 Januari 1940. Sedangkan di tengah-tengahnya, ada tulisan “Diterima sebagai pembajaran oleh segala Bank Negara Indoesia dari Kas Negara diseluruh Sum, untuk ditukar dgn mata uang R.I sesudah rasmi dikeluarkan di Sumatera”. Adapun pada uang berwarna sedikit dongker atau hijau pekan, tertera kalimat “TANDA PEMBAYARAN JANG SAH LIMA RUPIAH”. Uang ini dikeluarkan di Bukittinggi, 1 Januari 1948. Dari lembaran depannya, terlihat gambar matahari di balik gunung dan pohon kelapa. Sedangkan di lembaran belakangnya, tertera tulisan “Tanda pembajaran ini dianggap sah sebagai uang kertas seperti tersebut dalam pasal IX sampai XII dari Undang-Undang Presiden No.1 th.1946 tentang peraturan hukum pidana”. Tidak lama setelah Radianis memperlihatkan ketiga lembar uang tersebut kepada Haji Khairuddin dan sejumlah orang yang berada di sampingnya, uang tersebut langsung berpindah ke tangan Ujang, tokoh masyarakat Nagari Halaban yang ikut hadir di Nagari Ampalu. Ujang Hadir bersama Wali Nagari Halaban Hamdan, Wali Nagari Tanjuanggadang Rilson dan sejumlah pemuka masyarakat Kecamatan Lareh Sago Halaban. Oleh Ujang yang mengenakan baju warna orange, uang itu dipamerkan kepada tamu dan undangan lain. Kontan saja, suasana menjelang peletakan batu pertama, tanda dimulainya pembangunan surau Mr Syafruddin Prawiranegara, menjadi lebih berwarna. “Tengoklah, ada uang zaman PDRI,” kata Eka Kurniawan Sago Indra, pentolan Serikat Petani Indonesia Sumatera Barat yang datang bersama Ombak Zal dari Pangkalan. Menurut Radianis yang ditemui Padang Ekspres selepas acara pendirian surau Mr Syafruddin Prawiranegara, Uang Republik Indonesia Provinsi Sumatera (URIPS) pecahan 50 Rupiah, 25 Rupiah dan 5 Rupiah, merupakan peninggalan suami pertamanya Bachtiar Ismail. “Ini peninggalan suami pertama yang menikahi saya. Beliau, menikahi saya, saat saya masih berusia 15 tahun,” kenang Radianis, dengan nada bergetar. Menurut Radianis, suami pertamanya bernama Bachtiar Ismail, berasal dari Kampung Sawah Parik, Desa Balai Di Ateh, Sungayang, Batusangkar, Kabupaten Tanahdatar. Dia dulunya, berteman akrab dengan bapak Radianis bernama Tarusan. “Mereka, dulu sama-sama pernah berdagang ke berbagai kampung. Oleh bapak saya Tarusan, kami dinikahkan. Pernikahan itu direstui ibu saya yang bernama Radusan,” cerita Radianis. Dari pernikahan tersebut, Radianis dan Bachtiar Ismail tidak dikaruniai anak. Tapi dari istri pertamanya, Bachtiar dikarunia 2 orang anak. “Suami pertama saya itu dulu pernah tinggal di Sungaimanggih, Jorong Padangaua, Nagari Ampalu, tepatnya di rumah suami-istri Razis Dt Sutan Simarajo dan Siti Mala. Kini, anak pasangan suami-istri tersebut, malah menjadi suami saya,” ucap Radianis, sambil tersenyum. Radianis menuturkan, sebelum menutup mata sekitar tahun 2000, Bachtiar Ismail sering bercerita tentang peranan dirinya sebagai pembuat klise mata Uang Republik Indonesia Serikat. “Sebagai pembuat klise, suami pertama saya pernah mendapat penghargaan dari Menteri Keuangan Ma’rie Muhamad tahun 1996 atas pengabdian terhadap negara dan pemerintah, khususnya dalam bidang pencetakan ORI tahun 1945-1950,” kata Radianis. Sayang, tidak banyak cerita yang dikorek Radianis dari Bachtiar Ismail soal proses pembuatan Uang Republik Indonesia Provinsi Sumatera yang diakui Bank Indonesia tersebut. “Mendiang Bahciar Ismail hanya mengatakan kepada saya bahwa pada zaman Jepang, dia bekerja di Padang Nipo, semacam studio foto yang ada di Padang. Gurunya orang Jepang bernama Sano, sangat sayang kepada dirinya. Adapun ilmu membuat klise, didapatnya saat berguru dengan orang Jepang tersebut,” kata Radianis. Sewaktu PDRI 1948-1949 diproklamirkan di Sumatera Tengah untuk menyelamatkan Republik Indonesia dari cengkaraman Agresi II Belanda, menurut Radianis, suami pertamanya yang sudah menjadi tentara, dipercaya Ketua PDRI Mr Syafruddin Prawiranegara untuk membuat klise uang. Awalnya, uang dibuat di Surau Pak Yaya, kawasan Tadah, Nagari Halaban. Karena situasi keamanan, Pemerintahan Darurat Republik Indonesia pimpinan Mr Syafruddin Prawiranegara, diungsikan dari Nagari Halaban ke Nagari Ampalu. “Di nagari inilah, suami saya kembali mencetak uang. Tapi, saya tidak tahu persis di mana tempatnya. Mungkin masyarakat Nagari Ampalu yang berusia di atas 80 tahun, banyak yang tahu,” sebut Radianis. Soal keberadaan peralatan yang digunakan Bachtiar untuk percetakan URIPS, Radianias juga tidak tahu mengetahuinya. “Kata suami saya, alat mencetak uang itu selalu dibawa sepanjang perjalanan PDRI dari rimba ke rimba. Jadi, saya tidak tahu pasti. Yang jelas, setelah suami pertama saya itu meninggal, saya menyimpan 3 lembar uang hasil cetakannya,” ucap Radianis. Jika sewaktu-waktu uang yang dikoleksinya itu “dipinjam” oleh pemerintah, untuk keperluan yang bermanfaat bagi penelitian, penulisan maupun pelurusan sejarah PDRI, Radianis bersedia meminjamkannya. “Tapi kalau untuk dijual, saya terus terang saja, belum mau. Sebab, ketiga lembar uang ini adalah warisan,” ucap Radianis. Selain Radianis, ada pula seorang lagi warga Nagari Ampalu, Kecamatan Lareh Sago Halaban, Kabupaten Limapuluh Kota yang mengoleksi URIPS. Warga tersebut bernama Datuak Patiah. Dia tinggal di kawasan Manggunai Tinggi. Uang yang ada di tangan Datuak Patiah adalah uang pecahan Rp 10. Uang tersebut bertanggal 17 Januari 1948. Warnanya biru tua, dasarnya jingga. “Uang ini bergambar Tuanku Imam Bonjol dan Rumah Gadang,” kata Datuak Patiah kepada Padang Ekspres. Kabarnya, uang yang hanya berlaku di Sumatera Tengah itu, dulunya dicetak setelah dipesan oleh Residen Sumatera Barat Mr Sutan Muhammad Rasyid. Selain punya beberapa lembar uang pecahan Rp 10 yang merupakan warisan dari ayah kandungnya, Datuak Patiah memiliki paper atau kertas uang tersebut. “Ini saya berikan separuh buat diteliti ataupun apalah namanya,” kata Datuak Patiah kepada Yudilfan Habib, aktivis LSM yang datang ke Nagari Ampalu. Sebelumnya, Datuak Patiah pernah menyerahkan URIPS pecahan Rp 10 kepada anggota anggota DPD RI Am Fatwa dan dua putra-putri Mr Syafruddin Prawiranegara yang berkunjung ke Payakumbuh, untuk menghadiri acara penyerahan PDRI Award dari YPP PDRI 1948-1949, sekitar Desember 2012 silam. Menurut mantan Pemimpin Bank Indonesia Medan Iramady Irdja, dalam sejarah uang di Indonesia, selain dikenal Oeang Repoeblik Indonesia (ORI), juga dikenal apa yang disebut dengan Oeang Repoeblik Indonesia Daerah (Orida). “Nah, Orida ini dikeluarkan oleh pemerintah daerah tingkat provinsi, karesidenan dan kabupaten. Ini terjadi semasa perang kemerdekaan pada 1947 sampai 1949,” kata Iramady, secara terpisah. Putra Payakumbuh yang sedang rajin meneliti mata uang zaman PDRI itu mengatakan, Orida terbit atas izin Pemerintah Republik Indonesia guna mengatasi persoalan kekurangan uang tunai di daerah, akibat terputusnya komunikasi normal antara pusat dan daerah. “Waktu terjadi agresi militer pertama Belanda 21 Juli 1947 dan agresi militer kedua Belanda pada 19 Desember 1948, komunikasi pusat dan daerah terputus. Peredaran mata uang sangat sulit. Makanya, pemerintah pusat memberi wewenang kepada daerah, untuk menerbitkan Orida,” kata Iramady Irdja yang kini bermukim di Yogyakarta. Menurut catatan Bank Indonesia, sebut Iramady, Orida pertama dibuat di Pulau Jawa adalah “Uang Kertas Darurat Untuk Daerah Banten”. Emisi pertama uang kertas ini tertanggal 12 Desember 1947. Dasar hukumnya adalah Instruksi Pemerintah Pusat RI kepada Residen Banten Kiai Haji Achmad Chatib, untuk mencetak dan menerbitkan uang daerah yang berlaku sementara. “Sedangkan di Sumatera, Urida pertama adalah URIPS (Uang Republik Indonesia Propinsi Sumatera). Emisi pertama Urips tertanggal 11 April 1947, berdasarkan maklumat Gubernur Sumatera Mr. Tengku Moehammad Hasan No. 92/K.O., tertanggal 8 April 1947. Pencetakan URIPS itu semula ada di Pematang Siantar, Sumatera Utara, tapi karena ada Agresi, dipindahkan ke Bukittinggi,” ujar Irmady Irdja. Bukan hanya menyimpan beberapa lembar URIPS, Datuak Patiah dari Nagari Ampalu juga mengoleksi surat dari Ketua PDRI Mr Syafruddin Prawiranegara. Surat tersebut ditujukan buat warga Nagari Ampalu bernama Muhammad Zein. Dalam surat itu, terungkap kerinduan-kerinduan Mr Sutan Prawiranegara, terhadap keelokan alam Ampalu dan keramahan masyarakat setempat. Menurut pengurus Yayasan Peduli Perjuangan PDRI 1948-1949 Ben Yuza dan Ferizal Ridwan, masyarakat di Sumbar memang masih banyak yang menyimpan bukti-bukti sejarah PDRI, termasuk uang dan surat-surat pernting. “Bahkan, ada satu lagi warga kita yang mengaku, punya mesin bekas mencetak uang PDRI. Sekarang, ia sedang tidak di kampung. Kalau nanti pulang, kita ke sana,” kata Ferizal Ridwan. (***)

Baca Selengkapnya..